Alkisah, di sebuah negeri antah berantah ada seorang wazir (perdana menteri) yang tiap kali mendengar musibah apa pun selalu mengatakan: “Semoga ada baiknya…”. Bila ada temannya kecelakaan dia hanya mengatakan: “Sabarlah, semoga musibah ini ada baiknya”, dan demikian pula bila diri atau keluarganya yang tertimpa musibah, ia mengatakan hal serupa.
Suatu ketika, Raja negeri tersebut terkena musibah yang mengakibatkan jarinya putus satu. Mendengar musibah tersebut, si Wazir datang menjenguk bos-nya. Lalu ia mengingatkan agar Sang Raja tidak usah kecil hati, dan menutupnya dengan kata-kata: “Semoga ada baiknya…”. Mendengar ucapan Wazirnya, Sang Raja kontan naik pitam dan menghardiknya: “Kurang ajar, bagaimana mungkin jariku yang putus kau anggap ada baiknya?!” lalu ia perintahkan para pengawal agar memenjarakan si Wazir sebagai hukuman atas kata-katanya tadi.
Wazir yang malang itu pun mendekam dalam penjara untuk beberapa lama. Hingga suatu ketika, Sang Raja pergi bersama beberapa orang pengawalnya untuk berburu di padang pasir. Saat mereka sedang istirahat, tiba-tiba ada segerombolan penyamun bersenjata lengkap yang mengepung mereka. Penyamun ini adalah orang-orang penyembah berhala yang meyakini bahwa untuk menghindari kutukan para berhala, mereka harus mempersembahkan sejumlah orang sebagai korban… dan tentunya orang-orang tersebut harus dibunuh, tapi dengan syarat ia harus sempurna fisiknya, alias tidak boleh cacat.
Maka Si Raja dan para pengawalnya terpaksa menyerah karena jumlah penyamun yang demikian banyak. Mereka pun akhirnya diperiksa satu persatu dan yang kedapatan sempurna fisiknya langsung ‘dieksekusi’ sebagai persembahan untuk para berhala… nah, setelah seluruh pengawalnya terbunuh, tinggallah Si Raja seorang diri yang cemas menanti nasibnya. Akankah ia harus mati di tangan mereka sebagaimana para pengawalnya…? Namun beruntung, sebab saat mereka memeriksanya ternyata ia tidak memenuhi syarat untuk dipersembahkan kepada para berhala… ya, sebab JARINYA PUTUS SATU!
Akhirnya mereka pergi meninggalkan Raja tersebut seorang diri. Alangkah girangnya Si Raja saat mengetahui dirinya tidak jadi dibunuh lantaran cacat pada jarinya. Ia pun segera kembali ke istana dan langsung teringat dengan kata-kata Wazirnya tempo dulu. Maka segera ia perintahkan para ajudan untuk membebaskannya dan membawanya kepadanya. Begitu Wazir tersebut menghadap Sang Raja, Raja segera menceritakan apa yang barusan dialaminya, dan mengakui kebenaran ucapan Si Wazir… lalu ia pun meminta ma’af telah memenjarakan dirinya waktu itu. Maka si Wazir mengatakan: “Ah, tidak apa-apa… semoga ada baiknya”. Raja pun heran…
“Lho, kalau musibah yang kualami memang ada baiknya bagiku karena telah menyelamatkan nyawaku di kemudian hari… namun apa baiknya kau masuk penjara selama ini?” tanyanya.
“Tentu saja ada, sebab jika Baginda tidak memenjarakanku waktu itu, pasti aku akan menyertai Baginda untuk berburu hingga aku pun pasti terbunuh bersama yang lainnya”. Jawab si Wazir.
Nah, pembaca yang budiman… ingatlah kisah ini tatkala Anda mendapat sesuatu yang tidak menyenangkan, sebab boleh jadi itu ada baiknya bagi Anda tapi Anda tidak tahu.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ [البقرة/216]
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (Al Baqarah: 216).
Assalamualaykum ustadz,
ana mau bertanya satu hal apakah kisah ini benar2 terjadi?
sumbernya dari mana?
dan satu hal lagi, afwan bukankah kalimat salam sebaiknya ditulis lengkap? Assalamualaikum warohmatullahi wa barokatuh, tidak disingkat ass atau wr. wb.
(ana lihat di blog ini)
Baarokallahu fiik
Wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabaraakaatuh…
Ini sekedar kisah fiktif yang bisa diambil hikmahnya, saya mendengarnya dari seorang teman asal Yaman… alakulli haal, ga percaya juga tidak mengapa, toh ini bukan hadits tapi hanya cerita… sebagian ulama memberi kelonggaran untuk mengisahkan hal-hal yg fiktif jika membawa manfaat, seperti ketika menulis suatu perdebatan semu antara ahlussunnah dengan ahlul bid’ah yg berisi perang argumentasi, atau seperti kitab-kitab Maqaamaat dlm ilmu balaghah, spt Maqaamaat al Hariri, yg semuanya adalah kisah fiktif, pun demikian tidak ada yg mempermasalahkan kitab-kitab semacam ini karena manfaatnya jelas. Wallahu a’lam
penulisan kalimat salaam tentu lebih baik ditulis lengkap, tapi boleh saja disingkat jika diperlukan… namun sebaiknya tidak disingkat ass, karena dlm bhs inggris artinya tidak baik. Jazakumullaahu khairan atas nasehatnya…
Wabaaraka fieka aidhan
Assalamu’alaykum, ustadz ana minta izin copy paste. Jazakallah khoir.
silakan, baarakallaahu fiik.
Subhanalloh…
ijin copas lagi stad..
jazakallah khair