Sebelum berangkat ke Madinah, Ahmad pernah ‘mampir’ selama sepuluh bulan (kurang beberapa hari) di sebuah kota kecil di Propinsi Al Qassim, Saudi Arabia. Kota itu namanya ‘Unaizah. Kota asal ulama legendaris Najed yang namanya tak asing di telinga kita… Ya, dari sanalah terlahir Asy Syaikh Al ‘Allaamah, Abdurrahman bin Naashir As Sa’di. Seorang mufassir nan faqieh yang karya-karyanya demikian terkenal. Di kota itu pula terlahir ulama besar lainnya yang notabene adalah murid beliau, yaitu Asy Syaikh Al ‘Allaamah, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, rahimahumullah jami’an.
Keberangkatan Ahmad ke ‘Unaizah sebetulnya lebih mirip dengan ‘pelarian’, karena bosan menggantungkan nasib di Jami’ah Islamiyyah Madinah (Bukan Jama’ah Islamiyyah lho !). Ahmad selama dua tahun ini sudah berusaha mendaftar dua kali, dan selalu gagal… Dua tahun berlalu tanpa ada ketentuan hendak kemana Ahmad akan melanjutkan studinya. Ahmad demikian tertarik untuk belajar ilmu-ilmu agama, akan tetapi background pendidikan SMP dan SMA-nya selama ini betul-betul kurang mendukungnya untuk bersaing dengan anak-anak Ma’had… apalagi ketika itu sistem keikutsertaan di Daurah Masyayikh Madinah, harus berdasarkan undangan yang dikirim dari pihak penyelenggara kepada ma’had-ma’had tertentu agar mengirimkan calon mereka untuk ikut serta di Dauroh. Dalam hati Ahmad berkata: “Memang siapa yang bakal melayangkan undangan ke SMA 3 ??” SMA yang terkenal dengan banyaknya siswa-siswi keturunan Tionghoa itu… SMA yg konon menempati peringkat pertama se-Kodya Solo selama bertahun-tahun…
Karenanya, usaha Ahmad untuk ikut serta dalam daurah selama dua tahun tersebut selalu tak berhasil. Paling banter ia hanya bisa ikut muqobalah saja… maksudnya, wawancara dengan salah seorang syaikh/dosen yang akan melayangkan sejumlah pertanyaan sesuai selera mereka… lalu menilai jawaban kita, dan selanjutnya… menunggu nasib.
Namun, Allah ternyata masih cukup ‘sayang’ dengan hamba-Nya yang satu ini. Ketika harapan untuk bisa belajar di kota Rasul hampir pupus, Ahmad mendapatkan jalan keluarnya. Hal itu bermula ketika Ahmad mendengar rencana diadakannya Daurah Masyayikh Jami’ah di sebuah Ponpes terkenal di Jogja, yaitu PP Taruna Al-Qur’an. Nah, kebetulan Ahmad selama tiga tahun belakangan sering mondar-mandir ke sebuah Ma’had Ali di Gading yang banyak dihuni oleh lulusan-lulusan PP Ngruki. Meskipun ‘aroma’ harokah masih tercium kuat, akan tetapi santri-santrinya lebih fokus ke masalah ilmiah daripada organisatoris. Dari pergaulan bersama merekalah semangat Ahmad untuk belajar agama makin kuat. Pemicunya ialah ketika salah seorang ustadz mereka yang bernama AR memanggil Ahmad. Beliau ingin sekedar ta’arruf dengan Ahmad yg kelihatan akrab dengan santri-santrinya selama ini. Di tengah perkenalan tadi, Ahmad mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan Arab lulusan SMP dan SMA Negeri… maka si Ustadz pun melayangkan beberapa pertanyaan dalam bahasa Arab. Dengan ‘gelagapan’, Ahmad berusaha menjawab semampunya… dan alangkah malunya Ahmad ketika sang Ustadz mengatakan: “Antum lebih pantas untuk bisa berbahasa Arab dari pada kami”. Karena beliau adalah orang Pribumi.
Kata-kata Ustadz AR tadi ibarat percikan api yang menyulut semangat Ahmad. Apalagi selama ini ia sering menyaksikan dan mendengarkan bagaimana santri-santri Ma’had Ali tsb khutbah dalam bahasa Arab setiap hari Rabu secara bergiliran. Akhirnya, tibalah momen yang tepat bagi Ahmad untuk ikut serta di Daurah Masyayikh yg diadakan oleh PP Taruna Al Qur’an. Ahmad diutus sebagai salah satu wakil Ma’had Ali, bersama dua orang santri lainnya. Kebetulan, panitia Daurah adalah Ustadz J yang merupakan alumni Ngruki. Jadi, Ahmad dapat kemudahan untuk bisa ikut meskipun sebenarnya jatah mereka untuk Ma’had Ali hanya dua orang santri.
Alhamdulillah, setelah dua minggu mengikuti Daurah, tibalah saatnya ujian tertulis. Ahmad pun mengikuti ujian dan alhamdulillah berhasil lulus dengan nilai mumtaz dan masuk 10 besar, tepatnya rangking 9. Sedangkan salah seorang santri ma’had menempati rangking ke-3.
Seleksi penerimaan pun dilanjutkan dengan acara muqabalah. Tapi sayang, ketika muqabalah Ahmad mendapat pertanyaan-pertanyaan yang tak terduga, dan ia pun kesulitan menjawab karena cara belajarnya selama ini yang serabutan.. yang penting faham dikit-dikit kalo baca kitab gundul, bisa ngomong dikit-dikit, dan faham diajak omong. Adapun kaidah-kaidah Nahwu dan tatacara i’rab, maka hanya sekilas pintas saja. Karenanya, ketika ditanya pertama kali tentang i’rab, Ahmad akan belepotan menjawabnya. Rasa pe-de-nya untuk diterima pun menurun drastis, sehingga yang tersisa hanya sepercik harapan untuk diterima.
Karenanya, Ahmad harus mencari pelarian kalau-kalau tahun depan namanya tak muncul lagi dalam daftar mahasiswa UIM. Tapi ada secercah harapan yang tersisa, karena kebetulan Ahmad ditunjuk sebagai wakil santri dalam acara penutupan daurah, dan diminta untuk berpidato dalam bahasa Arab di sana. Mungkin inilah salah satu ‘credit point’ terbesar yang menyebabkannya diterima di UIM kemudian.
Selama dua tahun tersebut, Ahmad sempat kenalan dengan salah satu Syaikh yang datang dari Saudi, yang merupakan murid Syaikh Utsaimin. Beliau datang berkunjung dalam rangka dakwah dan daurah di daerah tertentu, sesuai dengan yang diatur oleh yayasan pemrakarsa, yaitu Yayasan Al Sofwa Jakarta. Kebetulan, pilihan jatuh ke sebuah ponpes ‘bersahaja’ yang berlokasi di Simo, Boyolali. Inisialnya DS. Kedatangan syaikh tersebut tentu tidak disia-siakan oleh Ahmad, sehingga dalam waktu singkat pun segera terjalin hubungan erat antara Ahmad dengannya. Ahmad pernah menyampaikan cita-citanya untuk bisa belajar di Saudi, walaupun sekedar mulazamah (informal) di mesjid-mesjid. Tak disangka… tiba-tiba sebuah tawaran datang dari Musyrif (supervisor) Yayasan Al Sofwa, agar mencarikan dua orang yang siap untuk dikirim ke Unaizah, dengan syarat belum menikah. Ahmad pun segera menyambut tawaran tersebut dan menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan.
Setibanya di Yayasan, Ahmad dipanggil oleh kepala yayasan, ustadz ABA untuk interview. Selama ini, apa yang Ahmad ketahui ttg Yayasan tersebut ialah bahwa ia berpemikiran ‘salafi’. Ketika interview, yang melayangkan pertanyaan ada tiga orang. Salah satunya adalah kepala yayasan itu sendiri, kemudian salah seorang ustadz yang Ahmad lupa siapa namanya, dan yang ketiga adalah ustadz yang beberapa waktu lalu sempat marak disebut di media massa, karena dituduh terlibat tindak terorisme. Ia berinisial AA, lulusan LIPIA Jakarta yang konon berpredikat ‘cum laude’… beliau juga konon hafal Al Qur’an dan Kitab Bulughul Maram. Cukup hebat dan mengagumkan untuk ukuran Indonesia bukan? Akan tetapi, ketika tiba giliran ustadz AA yang melontarkan pertanyaan. Ahmad merasa ada yang janggal dari pertanyaanya… yaitu ketika ia bertanya: Kitab apa saja yang telah kamu baca dalam masalah akidah? Jawab Ahmad: “Kitab Al Iman karya Az Zindani (tokoh IM terkenal di Yaman), lalu kitab At Tibyan Syarhu Nawaqidhil Islam, karya Sulaiman Al ‘Ulwan (yang belakangan diketahui membawa fikroh takfiri, meskipun konon juga cukup luas ilmunya dalam masalah hadits)”. Ketika ustadz AA mendengar judul kitab tersebut, ia langsung melontarkan pertanyaan berikutnya: “Ada sebuah masalah yang termasuk pembatal Islam kontemporer yang marak terjadi akhir-akhir ini… apa itu?”. Ahmad menjawab: “Syirik?”, “Oh, itu kan sejak dulu… penulisnya menjelaskan dalam catatan kakinya tentang pembatal yang berbunyi: “Man lam yukaffiril musyrikiena, aw syakka fi kufrihim… lalu Ahmad segera menyambung kelanjutannya: “Aw sohhaha madzhabahum, kafara”. “Betul”, kata AA. Kemudian AA mulai berbicara panjang lebar hingga mengarah kepada pemerintah RI. Ahmad segara menangkap arah pembicaraannya, dan menyergapnya dengan sebuah pertanyaan yang kurang lebih bunyinya: “Jadi, Indonesia ini negara kafir dong?”. Ustadz AA pun terdiam… dan langsung disela oleh ustadz ABA dengan mengatakan: “Nah lo.. !!” (maksudnya, bagaimana kamu akan menjawab pertanyaan ini?).
bersambung…
🙂 sengaja diselesaikan disini…agar pembaca lbh penasaran…
lanjutkan..ustadz..
Masya Allah,
Ternyata begitu berliku jalan yang dilalui oleh Ahmad untuk menggapai hidayah. Saya sendiri barangkali masih dalam liku-liku jalan tersebut. Saya dilahirkan dari keluarga yang “berpendidikan” tinggi sehingga sangat kuat ra’yunya.
Saya saat ini tidak sedang di Indonesia, sedang menuntut ilmu (dan bukan ilmu Agama). Dan Alhamdulillah, mulai beberapa bulan yang lalu, mengenal manhaj salaf ini, dan berusaha istiqomah di manhaj ini. Berusaha mengikuti sunnah baik dari amalan zahir maupun amalan hati.
Tentu jalan yang akan saya hadapi nanti, setelah pulang. Berhadapan dengan keluarga, dan juga keluarga istri (saya bertemu istri sebelum mengenal manhaj ini). Mungkin dari melihat penampilan fisik saja, nanti keluarga akan anti pati (membiarkan jenggot, tidak isbal, tidak bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan muhrim), karena selama ini saya tidak diajarkan seperti itu. Bahkan ciri-ciri fisik semacam itu dianggap masuk ke aliran ekstrim. Semoga Allah akan membukakan hati keluarga saya, dan memberi kekuatan untuk tetap di manhaj ini.
Malah curhat. Saya tertarik untuk komen di sini, karena disebutkan ponpes TA di Jogja itu. Kebetulan salah satu pengelolanya, ustadz UB, adalah paman saya (adik Ibu). Dan terhadap ustadz UB pun Ibu saya cukup anti pati. Walau sampai sekarang saya belum mengetahui manhaj ustadz UB tersebut. (Apakah ustadz bisa menjelaskan? sebab beliau juga alumni UIM, saya dengar)
Semoga Allah selalu melindungi Ustadz dan keluarga.
hehe, itulah ‘manisnya’ mempertahankan akidah dan manhaj. Ana dulu juga dianggap ekstrim karena menjauhi kerabat2 wanita yg bukan mahram dan tidak mau salaman dgn mereka. Meskipun keluarga ana relatif lebih toleran karena tidak terlalu awam dlm masalah agama. Dan alhamdulillah, dari pihak ibu bisa dibilang udah salafi semua. Adapun dari pihak bapak (selain bapak dan adiknya yg paling kecil) masih banyak yg awam, tapi tetap hormat sama kita. Kalau antum ingin rahasianya, Baca saja firman Allah di surat Fushshilat: 34. Intinya, apa pun sikap mereka, jangan antum hadapi dengan muka masam atau sikap anti pati yg sama. Tapi balaslah dengan yg lebih baik. Berikan uluran tangan kepada mereka sebelum mereka minta… mereka punya sikap anti pati karena buruknya imej mereka thd orang yg memiliki ciri-ciri salafi tsb. Nah, kita harus rubah imej tersebut dengan menunjukkan bahwa kita lebih baik dari yg tidak berciri2 demikian. Tapi tetap dengan berpegang teguh dgn batasan yang ditentukan dalam agama. yang halal ya halal, dan yang haram ya haram.
Semoga Allah selalu menjaga kita agar tetap istiqomah di jalan-Nya, dan bersabar di atas manhaj ini, serta wafat dalam keadaan khusnul khatimah, aamien.
TTG Ustadz UB, kalau dia paman antum, harusnya antum jauh lebih kenal dengan beliau daripada ana. Ana cuma sesekali bertemu beliau, atau lebih tepatnya ‘melihat’ beliau ketika haji. Manhajnya bagaimana? kita berkhusnuzhan saja lah… insya Allah tidak keluar dari manhaj Ahlussunnah, mengingat beliau adalah lulusan UIM dan selama ini tidak ‘neko-neko’. Beliau ambil S1 di UIM, terus S2 di Pakistan setahu ana.
Alhamdulillah, jazakallaahu khair atas nasihatnya Ustadz.
Benar Ustadz, saat ini saya berusaha untuk menuntut ilmu (Diin) terus, dan nantinya akan tetap bersifat lemah lembut kepada keluarga, bagaimanapun sikap mereka. Semoga Allah selalu menjaga kita semua.
Mengenai Ustadz UB, benar bahwa beliau paman saya. Namun latar belakang keluarga dari Ibu yang bisa dikatakan “Muhammadiyah moderat”, dan bisa dikatakan sudah merasa cukup berilmu (dengan level yang moderat tadi) sehingga dari Ibu, paman, dan bibi bisa dikatakan “menjauhi” ustadz UB selain karena dianggap nyeleneh (padahal karena nyunnah), namun juga karena beristeri lebih dari satu. Dan konsekuensinya, saya jadi tidak terlalu mengenal beliau karena “disarankan” untuk ikut “menjauhi”. Paling hanya berkunjung mengantar makanan saja. Dan benar, Ustadz UB memang kemudian mengambil S2 di Pakistan.
Yang saya ingat, begitu ustadz UB pulang dari sekolah, membuat keluarga gempar karena kemudian tidak mau bermusik. Padahal keluarga dari sisi Ibu, bisa dikatakan semua berbakat dalam bidang tersebut, termasuk ustadz UB. Dan saya pun termasuk mewarisi “bakat” tersebut. Alhamdulillah sekarang sudah bisa meninggalkannya.
Saat saya pulang nanti, saya akan kembali mengunjungi beliau.
Sedang dari keluarga Bapak, memang awam, namun insya Allah akan lebih bisa menerima. Saya selalu mendoakan semoga semoga semua keluarga mendapatkan nikmat hidayah tersebut.
Jazakallaahu khair Ustadz. Jika mengetahui bahwa semua mengalami perjuangan untuk tegar di atas Sunnah, saya menjadi mendapat kekuatan lebih.
Alhamdulillah… itu sudah sunnatullah, dan teladan kita di sini adalah Para Nabi dan Rasul. Bukankah Rasulullah dahulu sebelum mendakwahkan tauhid begitu dicintai dan dihormati oleh kaumnya? bahkan beliau lah satu-satunya yg bisa melerai pertikaian suku Quraisy ketika hendak mengembalikan hajar aswad, karena julukan beliau sebagai Al Amin? Namun, begitu beliau mendakwahkan tauhid yg berseberangan dengan keyakinan nenek moyang dan ajaran leluhur serta kebiasaan masyarakat, apa hasilnya? Caci makian yg luar biasa… dituduh kadzdzab (pembohong), syaa-ir (penyair), saahir (tukang sihir), memecah belah persatuan, dst… demikian pula para Nabi yg lain, para sahabat, dan para ulama dari masa ke masa. Tapi, mereka toh melewati itu semua, dan sekarang -insya Allah- sedang merasakan hasil manis dari perjuangan mereka semasa hidupnya, ketika kubur menjadi tempat tinggalnya… demikian pula dengan musuh-musuh mereka, sekarang juga merasakan akibat dari permusuhan mereka terhadap penyeru kebenaran… Hidup di dunia itu singkat akhi… namun saat yg singkat ini menjadi penentu nasib kita di akhirat.. the neverending live… biarlah kita susah sebentar untuk senang selamanya. Kasihan mereka yg senang-senang sebentar untuk kemudian susah selamanya… mudan2an nasehat ini ada manfaatnya untuk ana pribadi, dan para pembaca.
Ana rada ga nyambung sama tokoh2nya karena pake inisial hehehe, tp ana cukup nyambung dengan inti ceritanya dr mulai seri pertama hingga ketiga ini. Cerita yg menarik, masih bersambung pula.
Harap dimaklumi, baru kenal manhaj salaf jd rada blm akrab sama ustadz2 didalam cerita yg kelihatannya sudah ga asing dengan ikhwan2 disini.
Assalamu’alaykum,
afwan ust. ijin copas kalimat: Hidup di dunia itu singkat akhi… namun saat yg singkat ini menjadi penentu nasib kita di akhirat.. the neverending live…
Jazakallahu khair.
Oya ust. afwan ya kl ana udh copas duluan baru diijinin. Barakallahu fiik.
Jazakumullah… atas pencerahannya
Alhamdulillah dah nyambung kisahnya. Tambah menarik karena ana tak asing dgn beberapa tokoh2 di dalamnya, semoga bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Lanjutakan kisahnya ustadz. Tambah penasaran neh.
Assalamu’alikum wr wb,
Di tunggu kelanjutan kisahnya Ust…..
artikel yg bagus ustadz…jazakallahu khaira…
mohon doanya dari ustadz agar ana dan istri tetap istiqomah di atas manhaj ahlus sunnah ini, sebab keluarga kami sebagian besar masih bermanhaj takfiri….karena umum keluarga kami lulusan sebuah mahad di cemani – solo… bahkan salah satu paman kami yg beberapa bulan lalu meninggal -rahimahullah- menjadi mudir mahad tahfidz ibadurrahman solo…dan ada pula paman kami yg menjadi dewan redaksi majalah arrisalah… semoga Allah senantiasa memberikan hidayah sunnah kepada kita dan kaum muslimin lainnya…
Ustadz Dzikron Rahimahullah ana kenal baik dengan beliau, satu setengah tahun yg lalu ana sempat diminta mengimami di Ibadurrahman untuk shalat tarawih. itu terakhir kali ana berjumpa dgn beliau… Ana kenal dgn beliau sejak 10 tahun yl kira2. Setahu ana beliau bukan takfiri, ana benar-benar kaget ketika dikabari oleh teman ana (Muhammad Satrio) bhw beliau meninggal karena sakit liver… sampai sekarang pun wajah beliau masih sering terlintas di benak ana… ana uhibbuhu fillaah. Ghafarallaahu lahu wa taghammadahu birahmatihi. Bagaimana keluarganya?
Kalau paman antum yg menjadi dewan redaksi Ar Risalah itu siapa? inisialnya TA atau ABA (pimred)? sekedar penasaran aja… kalau pimrednya ana kenal, dan setahu ana dia bukan takfiri, tapi kalau TA (dulu pernah jd direktur Pustaka Arafah, gak tahu skrg) ana tidak terlalu kenal.
Ustadz, hayyaakumullaah, ana minta saran antum terkait ana masih ngajar di ma’had yg ada di cemani tsb. Mungkin kitab2 apa saja yg perlu kita kenalkan ke para santri hingga mereka mengenal manhaj dengan baik.
Allaahu yuhayyiik. Salah satu kaidah dalam mengobati/meluruskan pemikiran ialah dengan menekankan hal-hal yang kurang diperhatikan oleh si pasien. Contohnya: Jika kita menghadapi orang khawarij yg mengkafirkan pelaku dosa besar, maka yg kita tekankan adalah nas-nas ttg ampunan Allah, rahmat Allah, dan lain-lain yg bertentangan dengan keyakinan mereka. Adapun nususul wa’ied jangan disampaikan kpd mereka. SEbaliknya ketika kita menghadapi orang murji’ah. Nah, menurut ana, santri2 di Al Mukmin sering dikompori agar memusuhi, mengkafirkan, dan berontak kpd pemerintah; tanpa dijelaskan apa saja syarat2 bolehnya melakukan hal tsb. Maka ana rasa mereka perlu diberi kajian ttg bagaimana menyikapi penguasa. Rujukan terbaik dlm hal ini adalah Shahih Muslim, Kitaabul Imaarah (antum syarah semua haditsnya pakai syarh Nawawi sdh cukup bagus), lalu kitab As Sunnah tulisan Abu Bakr Al Khollal (download di sini, terutama bagian awalnya… disitu banyak sekali nas-nas ttg bagaimana sikap imam Ahmad dan tokoh2 ahlussunnah thd penguasa yg menyerukan kepada kekafiran dan penguasa zhalim secara umum) di sini ada syarhnya oleh Syaikhuna Ibrahim Ar Ruhaili. kemudian bagus juga kalau antum merujuk ke kitab Mu’amalatul Hukkam karya Syaikh Abdussalaam bin Barjas Al Abdul Karim rahimahullah, kitab ini yu’tabar fariidun fi baabihi. kemudian kitab Kamaa takuunu yuwalla ‘alaikum, karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani. di sini. Dan tak kalah hebatnya, kitab beliau yg berjudul Madarikun Nadhar fis Siyasah. Beliau bicara ttg masalah jihad dll, dan menulis berdasarkan dalil dan bukti sejarah yg terjadi di negeri asal beliau, yaitu Al Jazair. Bagaimana dampak dari fitnah khawarij di negeri tsb. ini cukup bagus untuk menyadarkan orang-orang tsb agar belajar dari pengalaman pahit bangsa lain, buku ini diberi kata pengantar oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad, dll. Its very cool… !!
Alhamdulillah, jazaakumullaah khair ustadz atas jawabannya. Ana download insyaAllah, mudah-mudahan bermanfaat bagi ana dan yang lain. Baarakallaahu fiikum.
kalo Om Dzikron rahimahullah insya Allah baik, karena beberapa anaknya pun disekolahkan di Ma’had Al-Furqan Gresik… Alhamdulillah keluarga beliau baik2 saja insya Allah termasuk 7 anak Om yg lucu2, semua tetap sabar dan tegar saat Om meninggal… semoga Allah memberikan hidayah Sunnah kepada kita dan mereka.. wah, jadi inget lantunan bacaan alquran beliau, hehehe
klo keluarga yg di ar-Risalah, beliau jadi pimpinan perusahaannya.
oya, lanjutkan ustadz ttg kisah di atas, membaca kisah2 di atas, jadi inget masa lalu ketika ALlah pun memberikan hidayah kepada ana untuk meniti manhaj Salaf dan keluar dari manhaj takfir, semoga kita semua dimatikan oleh ALlah di atas aqidah dan manhaj ahli sunnah.
Assalamu’alaikum ustadz…
Serupa. serupa namun tak sama dengan sekelumit kisah seorang “fulanah” dalam perkara tidak berjabat tangan dengan sosok non-mahram dalam keluarga sampai membuahkan kisah tersendiri bagi diri “fulanah” ini. Hanya ada dua kata yang mampu saya gambarkan. Pilu & Menyedihkan. Ia mengenyam studi di Malang, mengenal manhaj salaf di kota kecil nan sejuk, Malang. bermulazamah dengan ustadz AH selama beberapa waktu. Hari ‘Eid fitr tiba, ia membawa segenggam keberanian bagi “fulanah” ini untuk memulai tidak berjabat tangan dengan penolakan halus. Sungguh, ini adalah perkara riskan, sehingga “fulanah” ini telah mempersiapkan segalanya jauh-jauh hari. namun, betapa kenyataan tidak seindah perkiraan. sepupu tertua di kalangan keluarga besar “fulanah” tersebut selang beberapa waktu mengajak berbicara secara empat mata dengannya. setelahnya “fulanah” ini diikuti oleh sepupunya keluar dari ruang tersebut, berdiri dihadapan manusia, terkhusus (keluarga besar) bersuara lantang dengan sisa amarah yang ada dalam dirinya. mengatakan kepada handai taulan di sekitarnya bahwa ” fulanah” telah mengikuti pengajian SESAT. ustadznya? apalagi, tentu ia lebih menyesatkan…dan segenap penghinaan lainnya. Laa haula wa laa quwwata ilaa billaah. Seorang putri dalam keadaan dipermalukan di hadapan handai taulan, tiada pembelaan terucap dari Ayah bunda “fulanah tersebut. -they’re just in silence- tiada cerita ini mengurangi penghormatan terhadap sepupu tercinta dari “fulanah” tersebut. Well, he just dont know. Tapi memang inilah realita, satu dari sekian banyak kisah menyesakkan dada yang dialami oleh saudari2 kita. Oh ya, njenengan alumni SMAGA ustadz? wah, kebetulan sekali ketiga kakak saya juga alumni SMAGA, satu kelahiran ’79, 81 dan 83. begitu pula adik saya. Mungkin anda mengenal/mengetahui salah satu dari ketiganya. Allahu a’lam . Semoga Alloh Ta’ala senantiasa menjadikan kita senantiasa istiqamah diatas kebaikan dan maslahat. Jazaakumullah khaer, ustadz. sungguh blog yang sangat bermanfaat. wa Baarokallahu fiik.
assalamualaikum ustadz, antum dari solo ya ustadz?solonya mana? ana juga dari solo tepatnya di kedunglumbu ,pasar kliwon dan sekarang lagi “nyantri” di STDI Imam Syafii jember
Bismillaah .
ustad , lanjutannya blom ada ya ? ingin tahu kelanjutannya ustad .