Ciri-ciri Ahlul Haq (pengikut kebenaran)

Posted: 27 September 2011 in manhaj, Salaf, Salafi, Tazkiyatunnufus
Tag:, , , , , , ,

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

Ciri-ciri ahlul haq (pengikut kebenaran) ialah:

  • Tidak terkenal dengan nama tertentu di tengah-tengah manusia, yang nama tersebut menjadi simbol golongan tersebut.
  • Mereka tidak mengikat dirinya dengan satu amalan, sehingga dijuluki karena amalan tersebut, dan dikenal dengan amalan tersebut tanpa dikenal dengan amal lainnya. Ini merupakan penyakit dalam beribadah, yaitu ibadah yang terikat (ubudiyyah muqayyadah). Adapun ibadah yang mutlak (ubudiyyah muthlaqah) akan menjadikan pelakunya tidak dikenal dengan nama tertentu dari jenis-jenis ibadah yang dilakukannya. Ia akan memenuhi setiap panggilan ibadah apa pun bentuknya. Dia memiliki ‘saham’ bersama setiap kalangan ahli ibadah. Dia tidak terikat dengan model, isyarat, nama, pakaian, maupun cara-cara buatan.
  • Jika ditanya: “Siapa ustadzmu?” jawabnya: “Rasulullah”.
  • Jika ditanya: “Apa jalanmu?” jawabnya: “ittiba’ ”.
  • Jika ditanya: “Apa pakaianmu?” jawabnya: “ketakwaan”.
  • Jika ditanya: “Apa maksudmu?” jawabnya: “Mencari ridha Allah”.
  • Jika ditanya: “Di mana markasmu?” jawabnya:

﴿ فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ﴾(النور:36_37)

Di mesjid-mesjid yang Allah perintahkan agar dibangun dan dimuliakan, serta banyak disebut nama-Nya di sana lewat tasbih dan shalat di pagi maupun petang hari. Merekalah lelaki sejati yang tidak tersibukkan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut terhadap hari Kiamat yang kedahsyatannya dapat memutar balikkan hati dan penglihatan (An Nur: 36-37).

  • Jika ditanya: “Keturunan siapa kamu?”, jawabnya: “Keturunan Islam”.
  • Jika ditanya: “Apa makanan dan minumanmu?” jawabnya (sambil menyitir hadits Nabi tentang unta temuan):

ما لك ولها ؟! معها حذاؤها وسقاؤها،ترد الماء وترعى الشجر حتى تلقى ربها.

“Apa urusanmu dengannya? Dia punya alas kaki dan tempat minum pribadi… dia bisa mencari makan dan minum sendiri, sampai bertemu dengan pemiliknya kembali”

 (Disadur dari: Madarijus Salikin 3/174).

Komentar
  1. Mas Kukun berkata:

    @Tidak terkenal dengan nama tertentu di tengah-tengah manusia, yang nama tersebut menjadi simbol golongan tersebut.
    Nah gmana dengan salafi padahal orang awam menganggapnya sebagai sebuah partai atau kelompok atau aliran dalam Islam ?maaf klo ana lancang beertanya cuma ini membuat ana hran saja

  2. Maksud Ibnul Qayyim -wallaahu a’lam- ialah jangan sampai kita hanya membanggakan predikat atau nama tertentu, yg dengan nama/predikat tsb timbul kesan bahwa golongan tsb hanya terkenal dengan anunya saja… padahal amalan-amalan islami itu banyak jenisnya, dan seorang pengikut kebenaran harus punya saham dalam semua jenis amal islami. Bukan hanya melazimi satu jenis hingga dikenal karenanya.
    kalau suatu golongan dinamakan salafi atau yg lainnya, namun sekedar untuk membedakan diri dengan firqah2 lain dan benar2 menetapi manhaj salaf, maka hal ini baik sekali… yg tidak baik ialah bila predikat salafi tadi hanya klaim tanpa bukti… atau diidentikan dengan orang-orang yg sebenarnya hanya mengikuti manhaj salaf secara parsial… sehingga timbullah kesan bahwa salafi itu bisanya cuma begini dan begitu, saking banyaknya yg mengklaim salafi tapi tidak benar-benar mengikuti manhaj salaf. wallaahul musta’an.

  3. sufi medan berkata:

    wah sufi banget tuh Ustadz, sebab sufi tidak dikenal sebagai golongan ahli ibadah tertentu. Mereka mempunyai saham di amal ibadah apapun jua. Ahlu dzikir: mereka, Ahlu shiyam: mereka: Ahlu shodaqah: mereka, ahlu khidmat: mereka, ahlu ma’rifat: mereka, ahlu mujahadah: mereka, dan ahlu2 lainnya. Di tiap lapangan amal dan ibadah, mereka punya andil 🙂

  4. Kalau yg antum maksud kaum sufi yg belakangan, maka tambahkan pula ‘kelebihan-kelebihan’ berikut:
    1. Ahlu Bid’ah: mereka
    2. Ahlu joget-joget: mereka
    3. Ahlu berdusta atas nama Nabi: mereka
    4. Gerbang semua firqah sesat: mereka
    5. Ahlu khurafat, takhayyul, dan ngalap berkah: mereka.
    bahkan tak sedikit yang sampai ke tingkat zindiq dan kufur spt Al Hallaj, Ibnu Arabi, Ibnu Sina, dan semisalnya. Bagaimana?

  5. Asdi berkata:

    Ustadz. Barokallohu fika wajazakallohu khair.

  6. taufiq hidayat berkata:

    assalamu’laikum ustadz ana mau nanya,.
    bagai mana dgn orang yg berdalil bahwa kaum muslimin harus masuk islam secara kaffah,. sedangkan sekarang kaum muslimin belum menegakkan hukum Allah., jadi belom kaffah dong kaum muslimin sekarang???
    mereka berdalil dgn., firman Allah surah ANNIsa ayat., 115,65,89 dan attaubah ayat 7,8,12,13 dan 16 juga dgn surat attahrim ayat 8, dan 9,.
    bagaimana dgn bantahan yg hikmah atas pengakuan mereka ini,.
    apakah benar apakah tidak,.
    jazakallah ust.,

  7. Bantahannya, Laa yukallifullaahu nafsan illa wus’aha. Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Menegakkan hukum Allah itu tidak hanya sebatas hudud (rajam, potong tangan, bunuh, qisas, dsm), tapi meliputi semua aturan Allah yg mampu dilakukan. Adapun yg tidak mampu dilakukan karena memerlukan wewenang dan kekuasaan spt hudud tsb, maka itu bukan kewajiban orang-perorang dari kaum muslimin (rakyat), namun itu kewajiban penguasa/waliyyul amri. kalau mereka tidak menegakkannya maka merekalah yg berdosa dan kita tidak dituntut (sbg rakyat biasa yg tidak punya wewenang) untuk menegakkannya. Demikian pula hukum-hukum lainnya spt Jihad.
    Kalau masuk Islam kaaffah diartikan hrs menegakkan semua hukum Allah tanpa mengindahkan kemampuan, maka islamnya para sahabat saat di mekkah tidak ada yang sah, sebab hukum Allah belum tegak selama 13 tahun mereka di mekkah… yg berkuasa adalah kaum musyrikin. Barulah setelah mereka hijrah bisa menegakkan hukum Allah secara kaaffah. Ini konsekuensi dari pemahaman mereka yg keliru… nah, apakah mereka berani mengatakan bhw keislaman para sahabat tadi belum kaaffah saat mereka di Mekkah?

  8. taufiq hidayat berkata:

    ust. apa benar kita harus ta’at kapada ulil amri yg berhukum dgn hukum Allah saja??? kapan kita melepas keta’atan kpd ulil amri ust???
    sedangkan Allah berfirman dalam An-Nisaa ayat.59

    59. Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
    terus apa yg dimaksud dgn ayat di atas ust?? apakah keta’atan ulil amri disini ketika ulil amri berhukum dgn hukum Allah???

  9. […] Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc […]

  10. […] Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc […]

  11. […] Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc […]

  12. Kewajiban taat kepada ulil amri berlangsung terus selama dia menegakkan shalat (muslim). Imam Muslim meriwayatkan:
    عن عوف بن مالك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال * خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف فقال لا ما أقاموا فيكم الصلاة وإذا رأيتم من ولاتكم شيئا تكرهونه فاكرهوا عمله ولا تنزعوا يدا من طاعة),
    Dari Auf bin Malik, bahwa Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Pemimpin terbaik kalian ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, lalu kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Sedangkan pemimpin terjelek kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, lalu kalian melaknatnya dan mereka pun melaknat kalian”. Rasulullah ditanya, “Ya Rasulullah, mengapa tidak kita lawan saja mereka dengan senjata?”. “Jangan, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. Bila kalian melihat sesuatu yang kalian benci pada pemimpin kalian, maka bencilah perbuatan mereka dan janganlah mencabut keta’atan kalian dari mereka”.
    Maksud dari “Selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian”, adalah bahwa di zaman dahulu (generasi salaf), seorang pemimpin (khalifah, imam, amirul mukminin) juga bertugas sebagai khatib dan imam shalat, selain sebagai kepala negara. Jadi, selama mereka masih mengimami shalat lima waktu bagi rakyatnya, maka mereka adalah pemimpin muslim yang tidak boleh diperangi. Adapun sekarang kondisinya telah berubah seiring dengan banyaknya wakil-wakil penguasa yang memegang jabatan tertentu, sehingga seorang penguasa tidak lagi menjadi imam dan khatib. Pun demikian, ini tidak berarti kekuasaan mereka menjadi tidak sah. mereka tetaplah penguasa yang sah dan syariat memberi hak bagi mereka untuk menunjuk wakil-wakil di setiap daerah dengan tugas tertentu, spt mengimami shalat, berkhutbah, menikahkan (wali hakim), menerapkan hukuman hadd, mengadili, menjalankan aturan negara (otonomi), dsb. Ini bila negara yg bersangkutan masih tergolong daar islam, yaitu negara yg menunjukkan tegaknya syi’ar-syi’ar Islam dan dikuasai oleh kaum muslimin, walaupun mayoritas rakyatnya non muslim. Sedangkan bila negara tsb adalah negara ‘gado-gado’ kaya’ indonesia, yg dari satu sisi mayoritas rakyatnya adalah muslim, akan tetapi syi’ar-syi’ar Islam dan kekufuran sama-sama tegak, dan pemerintahnya juga campuran antara muslim dan kafir, maka kita menyikapinya dengan sikap yg adil. Yg mukmin kita perlakukan sebagai mukmin/muslim, dan yg kafir kita perlakukan sebagai kafir. Kalau presiden menyuruh untuk maksiat maka tidak boleh kita taati dalam perintah tsb, sedangkan perintah lainnya yg tidak mengandung maksiat tetap kita taati.
    adapun bila ia (penguasa) bukanlah seorang muslim, atau telah dinyatakan murtad oleh para ulama yg mu’tabar, maka dia bukan lagi menjadi ulil amri kita (ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا) “Allah tidak akan memberi peluang bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mukminin” (An Nisa’: 141).
    Pun demikian, kekafiran pemerintah bukanlah alasan satu-satunya untuk boleh memberontak, namun harus ada syarat-syarat lain yg dipenuhi, yaitu:
    1-Adanya kekuatan yg memadai untuk menggulingkan si penguasa tsb.
    2-Pemberontakan tsb tidak boleh mendatangkan kerusakan yg lebih besar dengan banyaknya korban jiwa dan harta benda.
    Jika kedua syarat ini terpenuhi, dan si penguasa tsb memang kafir, barulah kaum muslimin wajib memberontak kepadanya. namun bila tidak, maka haram bagi mereka memberontak (angkat senjata) kpdnya, spt yg banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok yg mengatasnamakan jihad hari ini (Al Qaeda dkk).
    Jadi, ketaatan kpd ulil amri adalah berlaku umum selama merekalah yg menguasai kita dan mereka adalah muslim. Bila mereka tidak menerapkan hukum Allah, maka itu menjadi dosa mereka, bukan dosa kita… apalagi jika mengingat adanya khilaf di kalangan para ulama tentang status orang yg tidak berhukum dengan hukum Allah (baik penguasa maupun rakyat, dan baik itu hukum hadd maupun aturan syari’at lainnya). Banyak orang yg keliru memahami ayat di atas, lalu menyimpulkan bahwa “Tidak berhukumnya seorang penguasa dengan hukum Allah” = “tidak ada penguasa”. Ini jelas tidak benar, dan bisa menimbulkan tindak anarkis dan kerusakan yg merugikan Islam dan kaum muslimin… Contohnya adl mereka yg menganggap kafir pemerintah setempat, lalu bertingkah laku seperti pemerintah dengan menerapkan hukum hadd (cambuk, rajam, potong tangan, dsb) terhadap warga yg mereka nilai berdosa… atau mewajibkan kalangan ahli kitab untuk membayar jizyah (upeti)… atau menyatakan perang dengan pihak kafir, dsb… persis spt yg dilakukan AL QAEDA dan orang-orang yg sepemikiran dengannya. Hasilnya: “Kerusakan bin kerusakan, dan kerugian binti kerugian atas Islam dan kaum muslimin”. wallaahul musta’aan.

  13. […] Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc […]

  14. […] (pengikut kebenaran) […]

  15. taufiq hidayat berkata:

    ana mau nanya lagi ust. bagaimana dgn pernyata’an orang yg bilang,.
    bahwa setiap orang yg mengaku muslim itu harus memperjuangkan tegaknya syariat islam???
    terus bisakah berhala pada masa jahiliah dulu yg Rosul menyuruh untuk menghancurkanya di kiaskan dgn undang2 sekarang yg tidak berlandaskan alquran & assunnah yg dalam artian harus di hancurkan juga??? jazakallah ust.

  16. Iya, dia harus berjuang untuk itu, dan yg namanya syari’at Islam itu jangan sekedar difahami sbg hukum rajam, cambuk, potong tangan, qishash dan semisalnya saja. Tapi syari’at Islam yg menyeluruh, mulai dari akidah (tauhid), ibadah, hingga mu’amalah. Masing-masing berjuang pada lininya dan sesuai kemampuannya, dan tentunya setelah berhasil mewujudkan dasar dari itu semua, yaitu tauhid. Adapun bila tauhid diabaikan, maka percuma saja… makanya saat ditawari untuk menjadi raja Mekkah, atau menjadi orang terkaya, Rasulullah menolak dengan tegas karena imbalannya beliau harus menghentikan dakwah tauhid. Intinya, percuma saja menjadi pemimpin kalau yg dipimpin tidak mau diatur pakai aturan Islam (musyrikin mekkah). Percuma saja undang-undang dihancurkan kalau rakyatnya sendiri masih anti dengan syari’at Islam… jadi, dakwah ini harus dimulai dari akarnya… fahamkan rakyat (kaum muslimin) ttg ajaran Islam, tanamkan rasa cinta terhadap Islam dan syariatnya pada hati mereka, barulah setelah itu kita berusaha merubah UUD kita, dan ketika itulah perubahan UUD akan membawa dampak besar… tapi kalau sekarang kita sudah tergesa-gesa untuk menghancurkan UUD, padahal aparat negara, dan semua institusinya masih loyal kpd UUD, lantas apa manfaatnya?
    Rasulullah sendiri membiarkan berhala2 tsb selama 20 tahun karena beliau belum memiliki kekuatan untuk menghancurkannya, dan lagi pula kalau tetap dihancurkan, maka selama pemikiran syirik masih mendominasi otak warga mekkah, mereka akan membikin berhala baru lagi… bukankah begitu? Demikian pula di Indo… selama mayoritas umat Islam masih alergi dan awam terhadap Islam, maka mereka akan selalu menjauhi syariat. Kalaupun sekarang UUD dihancurkan, maka pemerintah (yg notabene adalah cerminan rakyat juga) akan membuat UUD baru yg tak berbeda dengan pendahulunya…
    Faham akhi?

  17. iconossystem berkata:

    Subhallah . .
    Syukron atas penjelasannya ustadz , semoga Allah memberkahi anda dan menambah ilmu anda. amiin…

  18. wa2n berkata:

    assalamu ‘alaikum,
    syukran ustadz artikel2nya bermanfaat,
    n jawaban2 thd bbrapa pertanyaan diatas sangat mudah utk dipahami,
    ana izin utk copy jawaban ust tanggal 30 oktober, 11, n 18 november di atas utk dokumentasi disini:
    http://ohermaone.blogspot.com/2011/11/tanya-jawab-seputar-penegakkan-khilafah.html
    tapi jika ust ga bersedia, ana akan hapus.
    jazakallahu khairan..

  19. Tafadhdhal ya akhi… selama keotentikan tetap dijaga (kecuali yg sifatnya salah ketik maka silakan dikoreksi), dan selama link asli dicantumkan; maka silakan sebarkan apa yg antum nilai bermanfaat dari blog ini. waffaqakallaah

  20. taufiq hidayat berkata:

    alhamdulilah ana faham dan puas atas jawaban antum.,
    jazakallah ustadz atas jawabanya,.

  21. wartanto berkata:

    assalamualaikum ustad, afwan ana orang baru mengenal pengajian salafi, sesama salafi sdh tau tentunya klu manhaj salaf jln keselamatan tapi knp sesama salafi ada yg perang dan pecah, salafi yg a tuduh yg salafi b hizbi dan salafi yg b bilang yg c sururi, mhn ilmunya tentang salafi ? terimakasih

  22. Nih ana copy-kan lagi jawaban ana atas pertanyaan senada yg dilontarkan oleh salah satu situs yg mengklaim dirinya sbg ‘mujahidin’, ana nukilkan pertanyaan situs tsb dan ana ikuti dgn tanggapan ana, semoga bermanfaat…
    1.Mengapa kalian anggap ustadz diluar kalian tidak mengikuti manhaj salaf? Apakah setiap orang dan da’i harus mengklaim bahwa dia dirinya adalah seorang salafy? Sedangkan kalian mengetahui bahwa kewajiban kita adalah mengikuti manhaj salaf bukan menamakan diri dengan istilah ‘salafi’ atau ‘dakwah salafiyah’ ?

    Jawab: Itu anggapan siapa ya? APakah kalau ada satu/dua orang yg ‘dianggep’ salafi/ustadz salafi berkata demikian, lantas berarti salafi punya pemahaman demikian? Apakah ini penilaian yg adil? Itu pendapat pribadi dia, bukan berarti salafiyyin punya pemahaman spti itu… lagian, siapa yg mengangkat ybs sbg jurubicara salafiyyin shg pendapatnya dianggap mewakili para salafiyyin?? Cobalah menilai dgn inshaf… kita bisa saja mengatakan bahwa semua mujahidin itu khawarij, hanya dengan menilai satu atau dua orang yg mengklaim dirinya sbg mujahidin yg mengusung pemahaman khawarij.. tapi itu kan tidak ilmiah dan obyektif.

    2.Mengapa kalian berbecah belah? jika kalian katakan ini bukan perpecahan tapi masalah perbedaan istihadi maka kami katakan: Kalau memang perbedaan itu bukan dalam masalah prinsif kenapa tabdi’, tajrih dan tahdzir harus terjadi? Bukankah dalam masalah ijtihadi tidak boleh saling menghujat dan tidak boleh menancapkan bendera al Wala dan al Baro di atasnya.
    Jawab: Mana yg lebih berat: perpecahan tanpa peperangan/pertumpahan darah, ataukah perpecahan dgn pertumpahan darah? Tentu yg kedua bukan? nah, antum juga tahu semuanya bhw adanya perpecahan/perbedaan pendapat/atau bahkan peperangan tidak selalu menunjukkan bhw pihak2 yg berpecah itu batil semua. Bukankah Sayyidina Ali dan pendukungnya berperang dgn Sayyidina Mu’awiyah dan pendukungnya? Bukankah perselisihan antar madzhab juga pernah dialami oleh kaum muslimin selama beberapa abad, yakni ketika kaum muslimin hidup dalam kejahilan dan fanatisme golongan, bahkan ada di antara mereka yg saling mengkafirkan hanya karena beda madzhab?? In kunta laa tadri fatilka mushiibatun, wa in kunta tadri fal mushiibatu a’dhamu !! Adanya perselisihan internal bukanlah dalil qothi akan batilnya suatu kelompok, karena yg namanya oknum selalu ada dimana-mana, baik dlm tubuh salafi, haroki, sufi, dsb. Bersikap adillah dalam menilai.

    3.Bagaimana mungkin kalian akan menyatukan umat diatas manhaj salaf? Sedangkan dakwah salafiyah sendiri berpecah belah? Sungguh tidak masuk akal kalau ada kelompok yang berpecah belah akan bisa menyatukan umat.
    Jwb: Lho, siapa yg punya target spt itu? kami hanya mendakwahkan apa yg kami yakini sebagai al haq dengan dalil2nya, setelah itu bukan tanggung jwb kami. Fadzakkir innamaa anta mudzakkir… (Berilah peringatan, karena kamu hanyalah seorang pemberi peringatan) ma ‘alaika illal balaagh (Tugasmu hanyalah menyampaikan). Innamaa ana nadziir (Kamu hanyalah seorang pemberi peringatan) dan banyak lagi ayat2 lainnya. Apakah ketika ALi dan Mu’awiyah saling berperang (dan ini adalah puncak perpecahan) keduanya harus berhenti mendakwahkan Islam dan apa yg mereka yakini sbg kebenaran?

  23. wartanto berkata:

    terimakasih ustad atas jawabanya, ada yg mau ana tanyakan lagi utk bisa memahami jawaban ustad yg diatas tadi, apa makna salaf salafi dan salafiyyun ? bgm dg org salafi yg kurang senyum sepertinya kaku kpd org lain yg tdk sepaham dengannya. dan ada orang yg memgamalkan sunnah tp tdk mau dibilang salafi ? semoga ana dimudahkan mencari kebenaran , terima kasih sebelumnya.

  24. Makna salaf secara bahasa artinya ‘yg telah lalu’. Adapun secara istilah berarti para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan taba’ul atba’. Yakni mereka yg berpegang teguh dengan sunnah Nabi, yg hidup di masa-masa awal Islam (3 atau 4 generasi pertama Islam).
    Adapun Salafi/Salafiyyun, maka yg pertama merupakan bentuk tunggal sedangkan yg kedua adalah bentuk jamak. Artinya orang yg menisbatkan dirinya kepada Salaf. Itu secara bahasa. Adapun secara istilah ialah orang yg mengikuti manhaj As Salafus Shalih dlm masalah akidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah.
    Adapun kasus yg antum sebutkan di atas, maka harus diperinci lebih lanjut:
    “Kalau ketidaksepahaman tadi dalam masalah yg sifatnya ijtihadiyyah, artinya masalah-masalah yg terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama ahlussunnah sendiri, baik ulama terdahulu maupun masa kini; maka kita harus bersikap toleran thd yg tidak sepaham”. Harus tetap menjaga ukhuwwah islamiyyah, sebagaimana yg dicontohkan oleh Imam Syafi’i dlm riwayat berikut:
    قال يونس الصدفي: ما رأيت أعقل من الشافعي، ناظرته يوما في مسألة، ثم افترقنا، ولقيني، فأخذ بيدي، ثم قال: يا أبا موسى، ألا يستقيم أن نكون إخوانا وإن لم نتفق في مسألة
    Yunus As Sadafi berkata: “Tak pernah kulihat orang yg lebih matang akalnya daripada Asy Syafi’i. Suatu hari, aku berdebat dengannya ttg suatu masalah sampai kami saling berpisah. kemudian ia menjumpaiku dan menggandeng tanganku seraya berkata: “Wahai Abu Musa, bukankah dibenarkan bila kita tetap bersaudara walaupun tidak sependapat dalam satu masalah?” (HR. Ibnu Asakir dlm Tarikhnya).
    Ini merupakan teladan salaf dlm menyikapi masalah2 ijtihadiyyah. Namun bila beda pemahaman tadi sampai kepada masalah inti dalam akidah, spt perbedaan antara ahlussunnah dengan ahlul bid’ah; maka lain lagi sikapnya. Tapi ala kulli haal, sikap lemah lembut kepada sesama muslim -selama yg disikapi tidak menunjukkan penentangan thd sunnah Rasulullah-, adalah sikap terpuji yg harus diterapkan oleh para da’i. Apalagi menghadapi masyarakat indonesia yg rata2 awam ini… kalau setiap penyimpangan harus disikapi dengan muka masam dan keras, niscaya larilah orang2 dari da’wah yg penuh berkah ini. Dan ini bukanlah ajaran Rasulullah maupun praktik para salaf… kalau ada yg ngaku salafi tapi melakukan hal2 spt itu, ya itu namanya ‘oknum salafi’.
    Adapun pertanyaan terakhir, maka kita tanya lebih dahulu mengapa ia tidak mau dinamakan salafi? Dan apakah ia mengamalkan sunnah dlm hal-hal tertentu saja atau berusaha mengamalkannya dari mulai sisi terpenting yaitu akidah, ibadah, dan mu’amalah… jangan2 yg antum anggap mengamalkan sunnah hanya dlm sisi ibadah saja, atau mu’amalah saja, atau akidah saja… ini namanya beragama secara parsial… Mungkin dia tidak mau dinamakan salafi karena banyaknya oknum2 salafi yg bertingkah laku tidak sesuai dengan manhaj salaf, sehingga menimbulkan citra tidak baik thd istilah ‘salafi’ itu sendiri… walaupun sebenarnya manhaj salaf tidak seperti itu. Nah, kalau ini alasannya, maka itu hak dia… yg penting jangan sampai mengatakan bahwa salafi itu begini dan begitu (menjelek2kan salafi) secara keseluruhan… tapi hendaknya ia obyektif dlm menilai. Kalau itu oknum yg salahkan oknumnya, jangan salahkan istilah yg dipakainya. Mudah2an antum faham…

  25. wartanto berkata:

    iya ustadz, terimakasih jawabanya, jadi kita harus mengikuti salaf seluruhnya semampu yg baru kita pahami dan jika ditanya kamu salafi berati jawab iya saya salafi