Seputar Ziarah Kubur

Ziarah kubur bagi wanita

Ziarah kubur bagi laki-laki adalah hal yang disunnahkan, sedangkan bagi wanita masih diperselisihkan hukumnya. Sebagian ulama menganjurkan, sebagian lagi mengharamkan , sebagian lagi memakruhkan, dan sebagian lagi membolehkan dengan syarat tidak sering melakukannya. Masing-masing punya dalil dalam hal ini, dan setelah diamati, agaknya pendapat terakhirlah yang rajih karena bisa mengkompromikan dalil-dalil yang ada, wallahu a’lam. Pun demikian, ada syarat-syarat lain yg harus dipenuhi, yaitu: tidak boleh berhias, tidak boleh meratap, bisa mengendalikan diri, dan memakai busana muslimah.

Berkaitan dengan ziarah kubur bagi wanita, Novel mengatakan: “Sebagaimana kaum pria, para wanita juga diizinkan untuk berziarah, selama tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh Agama. Bahkan mereka dianjurkan untuk menziarahi kubur para Nabi dan ulama untuk mendapatkan keberkahan mereka” [1].

            Saya katakan: Mana dalilnya yang menyebutkan bahwa tujuan dari ziarah kubur ialah mencari berkah? Tidak ada satu dalilpun yang mengarah kesana… bahkan ada sebuah hadits yang berlawanan dengan pendapatnya secara diametral!!

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ.

Dari Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah e melaknat wanita-wanita yang sering menziarahi kuburan (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya. Hadits ini dinyatakan hasan shahih oleh Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani).[2]

Kalau Novel mengatakan bahwa hadits ini disampaikan oleh Rasulullah e sebelum beliau mengizinkan dan memerintahkan ziarah kubur, maka saya katakan: Mana dalilnya yang menunjukkan demikian??

Kalau Novel mengkhususkan larangan tersebut bagi wanita yang meratapi mayit dan bersolek secara berlebihan hingga menimbulkan fitnah bagi kaum pria, maka saya katakan: Mana dalilnya yang mengarah kesana?? Nampaknya Novel lupa bahwa judul bukunya suatu ketika menjadi bumerang baginya.

Namun hal lain yang lebih penting untuk dicermati ialah ketika dia mengaitkan ziarah kubur dengan berkah, kira-kira apa yang dia maksudkan sesungguhnya? Adakah dia ingin agar orang-orang meyakini bahwa para Nabi dan orang shaleh yang telah wafat tadi dapat memberikan berkah kepada para peziarah? Mengapa dia lebih suka mengaitkan manusia dengan orang-orang yang telah berkalang tanah, dan tidak mengaitkannya dengan Dzat yang Maha Hidup dan tidak pernah mati? Apakah dia meyakini bahwa keberkahan dapat diperoleh dengan cara seperti ini? Mana Dalilnya??

Bisakah dia mendatangkan satu dalil saja yang menunjukkan bahwa para Nabi dan orang shaleh dapat memberikan berkah kepada orang yang menziarahi mereka? Adakah para sahabat berkeyakinan demikian terhadap orang-orang paling shaleh macam Abu Bakar dan Umar t? Kalaulah Abu Bakar dan Umar saja tidak diyakini demikian oleh para sahabat –padahal keduanya adalah manusia paling shaleh setelah para Nabi menurut ijma’ ulama–, lantas bagaimana Novel dapat menentukan bahwa kuburan wali fulan, atau habib fulan, atau kuburan siapa pun yang marak diziarahi adalah kuburan orang shaleh?? Adakah ia mengetahui isi hati seseorang hingga bisa mencapnya sebagai orang shaleh?

Mengatur waktu ziarah

Adapun mengatur waktu ziarah, maka tidak ada dalil yang jelas dan tegas dalam hal ini. Namun yang ada ialah bahwa setiap kali Rasulullah e bermalam dengan Aisyah t, beliau keluar di akhir malam ke pemakaman Baqi’ dan mendoakan sahabat-sahabat beliau yang dikubur di sana. Hadits ini meskipun shahih, tidak berarti bahwa kita disunnahkan untuk mengatur waktu tertentu dalam berziarah, seperti mengkhususkan hari atau tanggal tertentu secara rutin untuk ziarah. Namun hadits diatas sekedar menandakan bahwa ziarah kubur boleh dilakukan kapan saja, baik siang maupun malam.

Kemudian Novel menyebutkan sebuah riwayat yang intinya bahwa Siti Fatimah puteri Rasulullah e senantiasa menziarahi makam Hamzah bin Abdul Muttalib setiap hari Jum’at dan menandai makamnya dengan batu besar.[3]

Sekarang, marilah kita cek validitas riwayat ini. Dalam tafsirnya, Al Qurthubi menukil riwayat ini dari Abu Bakar Al Atsram dengan sanad sebagai berikut:

حدثنا مسدد حدثنا نوح بن دراج عن أبان بن تغلب عن جعفر بن محمد قال: كانت فاطمة …  الحديث

Musaddad mengabarkan kepada kami, katanya: Nuh bin Darraj mengabarkan kepada kami, dari Aban bin Tighlab, dari Ja’far bin Muhammad, katanya: Konon Fatimah… dst (seperti yang kami nukil diatas).

Sebagaimana yang pembaca lihat, bahwa dalam sanad ini terdapat perawi yang bernama Nuh bin Darraj, perawi ini oleh Ibnu Hajar dinyatakan matruk[4], bahkan ia dianggap pendusta oleh Imam Ibnu Ma’in [5]. Kemudian sanad hadits ini juga terputus, karena Ja’far bin Muhammad –yang dijuluki As Shadiq– adalah putera dari Imam Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang dijuluki Al Baqir. Ja’far As Shadiq lahir tahun 80 H dan wafat tahun 148 H [6], sedangkan Siti Fatimah wafat tahun 11 H, maka jelaslah bahwa riwayat ini sanadnya terputus karena antara kelahiran Ja’far dan wafatnya Fatimah t terpaut 69 tahun! Kesimpulannya, hadits diatas derajatnya amat sangat lemah sekali, kalau tidak mau dibilang palsu!

Hadits palsu lainnya yang disebutkan oleh Novel ialah hadits berikut:

مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا

Barangsiapa menziarahi makam kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka pada setiap hari Jum’at, maka dia diampuni dan dicatat sebagai seorang anak yang berbakti (kepada orang tuanya). (HR Baihaqi) [7]

Setelah mengecek sumber asalnya, ternyata pada sanad hadits diatas ada perawi yang bernama Muhammad bin Nu’man (majhul/tidak diketahui keadaannya), kemudian Yahya ibnul Ala’ Al Bajali (Kadzdzab/pendusta), dan Abdul Karim Abu Umayyah (dha’if/lemah). Dari sini jelaslah bahwa hadits diatas adalah hadits palsu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah hadits dha’ifnya jilid 1 hal 125.

Lebih dari itu, secara logika hadits ini juga tidak masuk akal. Sebab mafhumnya menunjukkan bahwa bila ada seorang anak yang selama hidupnya selalu durhaka kepada orang tuanya, maka setelah orang tuanya mati dia bisa dianggap sebagai anak yang berbakti. Bagaimana? Mudah, cukup ziarah setiap minggu ke kuburan orang tuanya… Aneh khan??

Benarkah pemakaman kaum shalihin adalah tempat terkabulnya doa?

Agaknya saudara kita yang satu ini benar-benar Qubury[8]. Dengan cara berdalil yang aneh bin ajaib, dia menyimpulkan bahwa kuburan merupakan tempat terkabulnya doa. Mana dalilnya? Dalilnya ialah bahwa dalam doa masuk pemakaman, Rasulullah mengucapkan:

أَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ لَنَا وَلَكُمْ (رواه النسائي)…. يَغْفِرُ اللهُ لَنَا وَلَكُمْ (رواه الترمذي).

Aku memohon kepada Allah untuk memberikan keselamatan kepada kami dan kalian semua (HR Nasai)….. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian (HR Tirmidzi).[9]

Sebenarnya syubhat ini terlalu lemah untuk kita gubris… tapi tak mengapa, agar kita semua tahu bahwa tarekat yang dibela oleh Novel memang selalu berkutat dengan akal-akalan yang menggelikan. Karenanya, kita akan jawab secara logika saja.

Novel mengatakan: “Selain berdoa untuk mereka, dalam salam yang disampaikan Rasulullah e ketika memasuki pemakaman tertulis jelas bahwa beliau juga berdoa untuk dirinya (kemudian dia menyebutkan kedua hadits diatas). Kemudian lanjutnya:

Dua hadis diatas menunjukkan bahwa pemakaman kaum Shalihin merupakan salah satu tempat terkabulnya doa. Oleh karena itu ketika berziarah kita dianjurkan untuk berdoa sebanyak mungkin…” dst.[10]

Saya katakan: Kalau begitu cara dia berdalil, mestinya di depan WC/toilet juga merupakan tempat terkabulnya doa, dan dia juga harus banyak-banyak berdoa disana!! Mengapa? Perhatikan riwayat Anas bin Malik berikut:

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ : اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

          Adalah Rasulullah e ketika hendak masuk WC/toilet mengucapkan: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syaithan laki-laki dan perempuan” (HR Bukhari & Muslim).

Kemudian simaklah riwayat Aisyah yang mengatakan:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَائِطِ قَالَ :  غُفْرَانَكَ

            Bahwasanya Nabi e jika keluar dari tempat buang hajat mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah aku” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih).

Namun mengapa Novel tidak menjadikan muka WC/toilet sebagai tempat terkabulnya doa, padahal Rasulullah juga berdoa di sana? Barangkali jawabannya ialah karena setiap orang punya WC di rumahnya, jadi percuma saja kalau dia anjurkan orang-orang untuk berdoa di sana… namun jika dikaitkan dengan kuburan, maka mereka akan rajin berziarah ke makam para ‘wali’, ‘shalihin’ dan ‘haba-ib’, hingga pengaruh spiritual Novel dan orang-orang sepertinya tetap terjaga di masyarakat… atau agar  perayaan haul yang mereka adakan tiap tahun semakin ramai, hingga ‘pemasukan’ mereka makin bertambah! Wallahul musta’an…

Melakukan perjalanan khusus untuk ziarah kubur para Nabi dan wali

Sebagaimana pernah disinggung sebelumnya, penganut tarekat sufi semacam Novel Alaydrus dalilnya takkan lepas dari dua hal: hadits dha’if/palsu namun lafazhnya sesuai kemauan mereka, atau hadits shahih yang maknanya dipelintir kesana kemari.

Jadi, dalam bab ini saya hanya akan menjelaskan validitas (keabsahan) dalil-dalil yang disebutkan oleh si Habib dalam rangka melegitimasi praktik yang berkembang di masyarakat, yang –diakui atau tidak– pasti menguntungkan mereka.

Di halaman 82 dia menulis sbb: “Melakukan perjalan khusus ke pemakaman para Nabi dan wali bukanlah suatu hal yang baru bagi umat Islam. Sejak zaman Nabi e hingga saat ini kaum Muslimin sangat bersemangat untuk menempuh ribuan kilometer demi sebuah kunjungan ruhani.”

Saya katakan, ini merupakan kedustaan yang dinisbatkan kepada mereka yang hidup di zaman Nabi e, sebab ia mengatakan bahwa kaum muslimin dari zaman tersebut –yang berarti para sahabat, tabi’ien, tabi’ut tabi’ien dst– hinnga zaman ini sangat bersemangat untuk menempuh ribuan kilometer demi sebuah kunjungan ruhani.

Mana Dalilnya Bib?

Pasti ada dong… (meski haditsnya sangat lemah/palsu, Novel tak ragu-ragu untuk menisbatkannya kepada Rasulullah e, dia mengatakan — hal 83-84 — ): “Rasulullah e bersabda“:

1- مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي

1- “Barang siapa menziarahi makamku, maka dia pasti akan mendapat syafa’atku.” (HR. Tirmidzi, Hakim, Bazzar, Daruquthni dan Baihaqi).

2- مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي

2- “Barang siapa menziarahiku setelah aku meninggal dunia, maka seakan-akan dia sedang berziarah kepadaku ketika aku masih hidup.” (HR. Baihaqi).

3- مَنْ زَارَنِي مُتَعَمِّدًا كَانَ فِي جِوَارِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

3- “Barang siapa menyengaja untuk berziarah kepadaku, maka kelak di hari kiamat dia berada dalam perlindunganku.” (HR. Baihaqi).

4- مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ وَفَاتِي كَانَ كَمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي

4- “Barang siapa menunaikan ibadah haji dan kemudian berziarah ke makamku setelah aku meninggal dunia, maka dia seperti sedang mengunjungiku pada saat hidupku.” (HR Thabrani, Daruquthni dan Baihaqi).

5- مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي

5- “Barang siapa menunaikan ibadah haji tetapi tidak menziarahiku, maka dia telah meninggalkanku.” (HR. Ibnu Hibban dan Daruquthni).

Sekarang, mari kita cek validitas hadits-hadits di atas…

Derajat hadits-hadits di atas secara umum adalah dha’iifah-waahiyah (sangat lemah), bahkan ada pula yang maudhuu’ah (palsu). Ibnu Taimiyyah mengatakan:

“ليس في الأحاديث التي رويت بلفظ زيارة قبره -صلى الله عليه وسلم- حديث صحيح عند أهل المعرفة، ولم يخرج أرباب الصحيح شيئاً من ذلك، ولا أرباب السنن المعتمدة، كسنن أبي داود والنسائي والترمذي ونحوهم، ولا أهل المساند التي من هذا الجنس؛ كمسند أحمد وغيره، ولا في موطأ مالك، ولا مسند الشافعي ونحو ذلك شيء من ذلك، ولا احتج إمام من أئمة المسلمين -كأبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد وغيرهم- بحديث فيه ذكر زيارة قبره” وقال -أيضاً- : “ليس في هذا الباب ما يجوز الاستدلال به، بل كلها ضعيفة، بل موضوعة”

“Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan lafazh menziarahi kubur beliau (Nabi e), tidak ada satu pun yang shahih menurut para ahli hadits. Para penulis kitab shahih pun tidak ada yang meriwayatkannya, demikian pula penulis kitab-kitab sunan yang mu’tamad seperti Sunan Abi Dawud, Nasa’i, Tirmidzi dan yang semisalnya. Bahkan penulis kitab-kitab Musnad yang sejenis ini pun juga tidak meriwayatkannya, seperti Musnad Ahmad dan yang lainnya[11]. Hadits-hadits ini sama sekali tidak ada dalam Muwaththa’ Malik, Musnad Syafi’i dan yang semisalnya; Tidak satu pun dari Imam kaum muslimin seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad dan lain-lain yang berdalil dengan hadits yang menyebutkan tentang ziarah kubur Nabi”. Beliau juga mengatakan: “Dalam bab ini tidak ada yang boleh dijadikan dalil, semua haditsnya lemah bahkan palsu”.[12]

Sedangkan Imam Ibnu Abdil Hadi dalam bantahannya terhadap As Subki mengatakan:

“جميع الأحاديث التي ذكرها المعترض في هذا الباب وزعم أنها بضعة عشر حديثاً ليس فيها حديث صحيح، بل كلها ضعيفة واهية”

Semua hadits yang disebutkan si penentang dalam bab ini, yang menurutnya ada 17 hadits, tidak ada satu pun yang shahih, namun semuanya dha’if dan sangat lemah.[13]

Adapun derajatnya secara khusus, untuk hadits pertama ada dua kekeliruan; Pertama: Novel menisbatkannya kepada Tirmidzi… siapakah Dia? Dia bukanlah Imam Muhammad bin Isa At Tirmidzi penyusun Sunan At Tirmidzi yang terkenal itu, akan tetapi Dia adalah Al Hakiem At Tirmidzi dan hadits tersebut ada dalam kitabnya Nawadirul Ushuul.[14]

Saya tidak tahu mengapa Novel tidak menjelaskan hal tersebut, namun kelihatannya kemungkinannya satu dari dua: ia menukil dari orang yang bodoh seperti dia dalam ilmu hadits hingga tidak bisa membedakannya, dan tidak mau mengecek kebenaran nukilan tersebut; atau ia sengaja melakukan hal itu (baca: talbis) agar terkesan bahwa hadits tadi disebutkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitabnya yang terkenal itu… laa haula walaa quwwata illa billaah, sungguh memprihatinkan!

Demikian pula keberadaan hadits ini dalam Sunan Ad Daruquthni dan Al Baihaqi, sama sekali tidak menunjukkan bahwa hadits ini shahih. Bahkan orang yang mengamati Sunan Ad Daruquthni secara sepintas akan tahu bahwa sebagian besar hadits yang ada di dalamnya berkisar antara dha’if-munkar-waahiy dan maudhu’. Mengapa? Karena tujuan beliau menulis kitab ini ialah untuk menjelaskan hadits-hadits dha’if yang sering dijadikan dalil oleh para fuqaha’.

Kedua: dalam sanad yang disebutkan oleh Ad Daruquthni ada perawi yang bernama Musa bin Hilal. Abu Hatim mengatakan bahwa dia itu majhul, lalu Al ‘Uqaili mengatakan: laa yutaaba’u ‘ala hadietsihi[15], sedang Adz Dzahabi mengatakan bahwa dia ini shaalihul hadits (baik haditsnya) dan hadits paling munkar yang diriwayatkannya adalah hadits di atas[16]. Singkatnya, hadits ini munkar (sangat dha’if).

Demikian pula dengan hadits kedua, hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan Ad Daruquthni dalam Sunan-nya, namun dalam sanadnya ada perawi yang majhul dan mubham (tidak diketahui identitas dan derajatnya)[17]. Jadi, hadits ini pun lemah.

Hadits ketiga juga sama dengan pendahulunya, dalam sanadnya ada perawi yang majhul[18]. Jadi… simpulkan sendiri.

Adapun hadits keempat & kelima, uff … palsu semua!! Luar biasa, Novel sungguh berani dalam hal ini… sampai berdusta atas nama Nabi segala[19]. Dan lagi-lagi ia mengulangi talbisnya dengan menisbatkan hadits tersebut kepada Imam Ibnu Hibban, seakan-akan beliau meriwayatkan hadits tersebut dalam Shahihnya. Padahal hadits tersebut ada dalam kitab beliau yang berjudul Al Majruhien, alias kitab yang hanya memuat perawi-perawi dha’if beserta hadits mereka!! Bahkan liciknya, Novel tidak menukil komentar Ibnu Hibban terhadap perawi hadits ini yaitu Nu’man bin Syibel, padahal beliau mengatakan:

يَأْتِي عَنِ الثِّقَاتِ بِالطَّامَّاتِ، وَعَنِ الأَثْبَاتِ بِالمَقْلُوبَاتِ

Ia mendatangkan bencana dari para perawi yang terpercaya, dan meriwayatkan hadits-hadits yang terbalik dari mereka[20]. Kemudian menyitir hadits kelima di atas.

Subhanallah… beginikah arti sebuah amanah ilmiyah menurut Novel? Memang… kebatilan tidak akan laku kecuali dengan mempercayai para pendusta, atau mendustakan mereka yang terpercaya.

Berdalil dengan hadits palsu dan qiyas yang kacau

Dalam penjelasan berikutnya (hal 84-85), Novel menggunakan qiyas yang serba rusak untuk membolehkan ziarah ke makam nabi-nabi yang lain, termasuk para ‘wali’. Ia meng-qiyaskan hal tersebut dengan adanya anjuran untuk menziarahi makam Nabi Muhammad e, sebagaimana yang tersebut dalam lima hadits di atas.

Mengapa qiyas di atas saya katakan serba rusak? Sebelum menjawab, perlu kita ketahui bahwa qiyas merupakan dalil keempat setelah Al Qur’an, Sunnah yang shahih dan Ijma’. Mengingat qiyas merupakan hasil ijtihad, para ulama telah menetapkan kriteria tertentu untuk menilai kebenaran suatu qiyas. Pertama-tama kita harus tahu bahwa qiyas memerlukan empat unsur, yang dalam istilah ushul fiqih disebut: ashl, fare’, ‘illah wa hukm. Artinya: sebuah qiyas tidak mungkin terjadi tanpa adanya:

1-      Pokok permasalahan yang dijadikan acuan (ashlun),

2-      Masalah turunan yang hendak dikiaskan (fare’),

3-      Sebab/alasan keduanya bisa disamakan (‘illah), dan

4-      Hukum akhir (hukm).

Kemudian, para ulama menentukan kriteria untuk masing-masing unsur tadi. Mereka mengatakan bahwa pokok permasalahan yang dijadikan acuan haruslah memiliki nash yang jelas (manshuushun ‘alaih), artinya ada dalil yang shahih dan sharih dalam masalah itu. Sedangkan masalah turunannya haruslah masalah baru yang tidak ada dalilnya. Kemudian adakah alasan yang menyamakan antara pokok permasalahan dengan masalah turunannya? Kalau memang alasannya ada dan sama, maka qiyas bisa dilakukan. Namun jika ada tapi tidak sama maka qiyas tersebut rusak.

Sekarang mari kita cek keabsahan qiyas tersebut. Pertama, dari pokok permasalahan, dalil yang digunakan semuanya dha’if, berarti anjuran untuk menziarahi makam Nabi e tidak ada yang sah. Kedua, masalah turunan yang hendak diqiyaskan –yaitu melakukan perjalanan ziarah ke makam para Nabi, wali dan orang shalih–, telah memiliki hukum yang jelas (lihat pembahasan berikutnya). Ketiga, alasan yang digunakan pun tidaklah sama; karena Nabi Muhammad e tidak sama dengan Nabi-nabi lainnya, apalagi dengan orang yang dianggap wali atau shalih. Apalagi julukan ‘wali’ telah banyak disalah gunakan oleh banyak kalangan dari dahulu hingga sekarang… lantas dari mana kita bisa mengatakan bahwa si Fulan adalah wali atau orang shalih setelah dia mati? Apakah kita bisa memastikan bahwa amalan si Fulan diterima Allah hingga ia layak dijuluki orang shalih? Padahal seseorang tidak bisa dijuluki shalih kecuali jika beramal dengan ikhlas dan ittiba’, lantas bagaimana mungkin kita tahu dia ikhlas atau tidak? Itu semua adalah masalah ghaib yang hanya bisa diketahui dengan dalil qath’iy, lain tidak.

Singkatnya, Nabi Muhammad e tidak bisa disamakan dengan siapa pun dalam hal keshalihan maupun keimanannya. Kalau sudah demikian, jelaslah bahwa qiyas yang dilakukan Novel tadi serba rusak… rusak dalilnya, rusak alasannya dan otomatis rusak pula hukum akhirnya.

Memelintir makna hadits

Tak cukup berdalil dengan hadits palsu dan qiyas yang kacau, Novel bahkan memelintir makna sebuah hadits yang melarang apa yang sedang dibelanya mati-matian, yaitu acara ziarah ke makam para wali, dan orang-orang shalih, termasuk para habib tentunya…

Hadits tersebut adalah hadits muttafaq ‘alaih yang bunyinya:

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِى هَذَا وَالْمَسْجِدِ الأَقْصَى

Tidak diikat pelana unta kecuali untuk menuju tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjidil Aqsha.

Novel mengatakan: “Saudaraku, dalam hadis diatas tidak ada larangan untuk berziarah kubur, bahkan kata kubur sama sekali tidak disebut. Hadis ini hanya ingin menjelaskan, bahwa seseorang tidak usah bercapai-capai melakukan perjalanan ke sebuah masjid demi mencari kemuliaannya, kecuali menuju tiga mesjid diatas. Nilai ibadah di semua mesjid selain tiga mesjid diatas adalah sama. Kendati demikian, kita masih boleh mengunjungi sebuah masjid yang berada jauh dari kita untuk mengenang sejarahnya dan mencari keberkahan di sana. Buktinya, pada setiap hari Sabtu, Rasulullah e mengunjungi Masjid Quba’, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyidina Abdullah bin Umar bin Khaththab t berikut:… dst”, lalu Novel mengutip haditsnya.

            Saya katakan, memang kata kubur tidak disebutkan di situ, tapi mana dalilnya yang mengkhususkan bahwa larangan tersebut hanya berkaitan dengan perjalanan menuju suatu mesjid selain mesjid yang tiga, lalu disimpulkan bahwa perjalanan mengunjungi kuburan tidak dilarang? Jika bercapai-capai menuju sebuah mesjid –yang merupakan tempat ibadah– saja tidak boleh, bukankah logikanya menuju kuburan para wali dll –yang sering kali jadi ajang kemusyrikan– lebih tidak boleh lagi?

Kemudian Novel berdalil dengan perjalanan Nabi ke Mesjid Quba’ setiap hari Sabtu sbb:

كَانَ النَّبِيُّ e يَأْتِي مَِسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا

“Dahulu pada setiap hari Sabtu, Rasulullah e mengunjungi Masjid Quba’ berjalan kaki atau berkendaraan”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Saya katakan, yang dilarang bukanlah mengunjungi suatu mesjid secara mutlak, akan tetapi kunjungan yang mengharuskan seseorang untuk ‘mengikat pelana unta’ alias safar[21]. Sedangkan perjalanan Rasulullah e dari rumah Beliau –yang berdempetan dengan Mesjidnya- ke Mesjid Quba’ terlalu dekat untuk  disebut safar, bahkan sekarang pun orang Medinah akan tertawa jika ada yang mengatakan: “Saya akan safar dari Mesjid Nabawi ke Mesjid Quba’ “. Ya… sebab jarak antara keduanya tak sampai 10 km.

Lantas apa makna hadits di atas? Hadits di atas mencakup larangan untuk safar dalam rangka ibadah ke suatu tempat semata-mata karena tempat itu, bukan karena hal lain seperti silaturahmi, berdagang, mencari ilmu, rekreasi dan kegiatan mubah lainnya. Jadi, setiap safar yang dilakukan dalam rangka ibadah di suatu tempat tertentu adalah terlarang, kecuali tiga mesjid tadi.

Saudara pasti bertanya: Mana Dalilnya? Simaklah riwayat berikut:

عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّهُ قَالَ لَقِيَ أَبُو بَصْرَةَ الْغِفَارِيُّ أَبَا هُرَيْرَةَ وَهُوَ جَاءٍ مِنْ الطُّورِ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتَ قَالَ مِنْ الطُّورِ صَلَّيْتُ فِيهِ قَالَ أَمَا لَوْ أَدْرَكْتُكَ قَبْلَ أَنْ تَرْحَلَ إِلَيْهِ مَا رَحَلْتَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Dari Abdurrahman ibnul Harits bin Hisyam, katanya: Abu Basrah Al Ghifari suatu ketika berjumpa dengan Abu Hurairah yang baru tiba dari bukit Thur, maka tanyanya:

“Anda datang dari mana?”

“Dari bukit Thur… aku shalat di sana”, jawab Abu Hurairah.

“Andai aku sempat menyusulmu sebelum engkau berangkat ke sana, engkau tidak akan berangkat. Aku mendengar Rasulullah e bersabda: Tidaklah diikat pelana… dst”, kata Abu Basrah.[22]

Kita semua tahu bahwa bukit Thur adalah bukit bersejarah tempat Nabi Musa diajak bicara oleh Allah pertama kalinya, dan diangkat menjadi Rasul[23]. Allah U pernah mengangkat bukit tersebut ke atas Bani Israel ketika Dia mengambil sumpah setia dari mereka[24]. Di sebelah kanan bukit Thur, Allah mengumpulkan Musa beserta Bani Israel setelah Fir’aun dan bala tentaranya binasa[25]. Di bukit itu, Musa memohon untuk bisa melihat Allah namun kemudian jatuh pingsan, dan di sanalah jua Allah menurunkan Taurat kepadanya.[26]

Jelas, bukit ini merupakan bukit yang diberkahi oleh Allah. Dalam menjelaskan hadits di atas, Al Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Ucapan Abu Hurairah: ‘Aku pergi ke bukit Thur’[27]; jelas sekali dalam hadits ini bahwa di tidak pergi ke sana kecuali demi mencari berkah dan shalat di sana”[28].

Imam Abul Walid Al Bãji ketika menjelaskan dialog antara Abu Basrah dan Abu Hurairah mengatakan: “Ucapan Abu Hurairah: ‘Aku datang dari Bukit Thur’ mengandung dua kemungkinan; mungkin dia kesana untuk suatu keperluan, atau dia kesana dalam rangka ibadah dan taqarrub. Sedang ucapan Abu Basrah: ‘Andai saja aku sempat menyusulmu sebelum kau berangkat, maka kau takkan berangkat’, merupakan dalil bahwa Abu Basrah memahami bahwa tujuan Abu Hurairah ke sana ialah dalam rangka ibadah; dan diamnya Abu Hurairah ketika perbuatannya diingkari, merupakan dalil bahwa apa yang difahami Abu Basrah tadi benar.[29]

Kesimpulannya, perjalanan jauh atau safar yang dilarang ialah safar untuk mencari berkah atau ibadah di tempat tertentu, yang semata-mata karena tempat tersebut. Semua perjalanan yang dilakukan dengan niat tersebut adalah haram, kecuali ke Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsha. Sedangkan safar yang dilakukan tanpa niat ibadah di tempat tertentu tidaklah termasuk dalam hadits ini, akan tetapi hukumnya tergantung tujuan safar itu sendiri, sebab pada dasarnya safar adalah sesuatu yang dibolehkan dalam agama.

Namun lucunya, Novel kemudian menulis (hal 85): “Oleh karena itu, sungguh aneh jika hadis ini dijadikan sebagai dalil yang melarang kita untuk menziarahi kubur para Nabi dan kaum Sholihin yang berada di luar kota, sedangkan orang yang pergi ke luar negeri, ke negara-negara kafir pun tidak pernah dilarang.”

Lihatlah analogi yang kacau tersebut… ia hendak menyamakan antara orang yang safar untuk ziarah kubur –yang kenyataannya justeru merupakan ajang berbagai kemunkaran, mulai dari bid’ah hingga syirik akbar–, dengan orang yang pergi ke luar negeri secara umum. Di mana letak persamaannya? Hanya Novel yang tahu…

Namun yang lebih lucu lagi ketika dia mengatakan bahwa pergi ke negara-negara kafir tidak pernah dilarang, padahal para ulama menyebutkan bahwa safar ke negara kafir hukumnya haram, kecuali dengan tiga syarat:

1-      Orang tersebut harus berilmu hingga bisa menepis syubhat-syubhat orang kafir.

2-      Orang tersebut harus memiliki iman yang kuat untuk menghadapi fitnah syahwat.

3-      Dia harus mampu menampakkan syiar-syiar Islam.

Lebih dari itu, ia hanya boleh safar ke negara kafir dengan alasan yang dibolehkan oleh agama, seperti mempelajari suatu ilmu yang hanya ada di negeri itu dan ilmu tersebut sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin, atau berobat, atau dalam rangka dakwah, jihad, dan semisalnya.[30]

Apalagi Nabi e mengatakan:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْ مُشْرِكٍ أَشْرَكَ بَعْدَ مَا أَسْلَمَ عَمَلاً حَتىَّ يُفَارِقَ المُشْرِكِينَ إِلىَ المُسْلِمِيْنَ.

Allah tidak akan menerima amalan seorang musyrik -yang berbuat syirik- setelah dia masuk Islam, hingga dia memisahkan diri dari kaum musyrikin kepada kaum muslimin.[31]

Dan mengatakan:

أَنَا بَرِىءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ؟ قَالَ: لاَ تَرَاءَى نَارَاهُمَا »

“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal diantara orang-orang musyrik”. Kata para sahabat: “Mengapa wahai Rasulullah?”, “Jangan sampai api keduanya saling terlihat” jawab Beliau.[32]

Al Imam Ibnul Atsir mengatakan bahwa jawaban Nabi di atas artinya seorang muslim harus tinggal berjauhan dengan orang musyrik, sampai kalau si muslim menyalakan api tidak terlihat oleh si musyrik. Dan ini merupakan anjuran untuk hijrah dan tinggal bersama kaum muslimin.[33]

Betapa gamblangnya kedua hadits diatas… apakah setelah membaca kedua hadits di atas masih ada orang yang mengatakan: “pergi ke negara-negara kafir pun tidak pernah dilarang???”, alangkah bodohnya dia kalau begitu…


[1] Mana Dalilnya 1, hal 70.

[2] Hadits ini juga disampaikan oleh Ibnu Abbas dan Hassan bin Tsabit t, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, kitabul Jana-iz, bab ke 49.

[3] Mana Dalilnya 1, hal 74. Novel menukil riwayat ini dari Tafsir Al Qurthubi 3/381.

[4] Yakni julukan untuk rawi yang hadits-nya dianggap dha’if jiddan (lemah sekali) dan tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah e.

[5] Lihat: Taqribut Tahdzieb hal 567, tahqiq: Muhammad ‘Awwamah, cet. th 1406/1986, Daar Ar Rasyid-Suriah.

[6] Lihat: Tahdzibul Kamal oleh Imam Al Mizzy 5/97, tahqiq: DR. Basyar Awad, cet. Muassasah Ar Risalah. Lihat juga Taqribut Tahdzieb hal 141, dan hal 751.

[7]  Mana Dalilnya 1, hal 74.

[8]  Artinya orang yang sangat gandrung kepada kuburan.

[9] Lihat: Mana Dalilnya 1 hal 80 yang kami lampirkan di belakang.

[10] Mana Dalilnya 1, hal 82.

[11]  Ini menunjukkan bahwa para ahli hadits yang mensyaratkan untuk tidak memasukkan sembarang hadits dalam kitabnya memandang bahwa hadits-hadits di atas tidak layak dinisbatkan kepada Rasulullah e. Jadi, Syaikhul Islam seakan mengisyaratkan bahwa kalau dalam kitab-kitab Sunan maupun Musnad yang mu’tamad saja hadits-hadits tersebut tidak ada –padahal kitab-kitab ini memuat banyak hadits dha’if lainnya– berarti hadit-hadits tadi memang terlalu dha’if hingga tidak layak untuk dinisbatkan kepada Rasulullah.

[12]  Lihat: Ar Raddu ‘alal Akhna-iy hal 87-88 dan Majmu’ Fatawa 27/216 dan setelahnya.

[13]  Ash Sharimul Munkiy, hal 15.

[14] Dia adalah Muhammad bin ‘Ali ibnul Hasan bin Bisyr Al Hakiem At Tirmidzi, seorang Sufi dan ahli hikmah namun akidahnya kacau (lihat: Tarikhul Islam 21/277-278 oleh Imam Adz Dzahabi). Dalam Siyar A’lamin Nubala’ (13/439), Imam Adz Dzahabi menyifatinya dengan kata-kata berikut: Al Imam Al Hafizh Al ‘Arif Az Zahid… dst. Bila orang yang awam tentang hadits dan kitab rijaal hadits macam Novel Alaydrus membaca ungkapan ini, pasti ia akan terkecoh dan menganggap bahwa orang ini memang benar-benar imam! Tapi… jangan tergesa-gesa, sebab Imam Dzahabi dalam kitab ini sering mengucapkan kata-kata tersebut lalu menyebutkan dalam biografi yang bersangkutan hal-hal yang bertolak belakang dengan sederet gelar mulia tadi. Contohnya lihat biografi Asy Syaadzakuuni (10/679); setelah menggelarinya dengan Al Imam Al Hafizh Al Baari‘ Abu Ayyub, Sulaiman bin… dst beliau mengatakan: “Ahadul Halka”, yang artinya: Salah seorang yang celaka. Karenanya, jangan terkecoh dengan gelar sebelum membaca biografi yang bersangkutan dari awal hingga akhir.

Dalam kedua kitab tersebut Imam Adz Dzahabi menukil sebuah riwayat dari Abu Abdirrahman As Sulami (salah seorang Imam Ahlus Sunnah) bahwa Al Hakiem At Tirmidzi pernah diusir oleh orang-orang dari kota Tirmidz dan mereka bersaksi bahwa dia telah kafir tersebab kitab Khatm al Wilayah dan Milal asy Syari’ah yang ditulisnya. Dalam kedua kitab tadi ia menyebutkan bahwa para wali memiliki khatam (penutup) sebagaimana para nabi memiliki khatam. Ia bahkan menganggap bahwa kewalian lebih mulia dari pada kenabian, dengan berdalil dengan sebuah hadits yang menyebutkan bahwa para Nabi iri terhadap para Wali…”. Kemudian di akhir biografinya, Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku memohon keselamatan kepada Allah dari kesesatan orang-orang sufi, dan aku berlindung kepada-Nya dari kekufuran filosof kaum sufi. Mereka berkedok dengan lahiriyah Islam sembari menghancurkannya secara tersembunyi. Mereka mengaitkan orang-orang awam dengan ikatan dan simbol-simbol sufi dengan segala isyarat yang terkesan indah, demikian pula dengan ucapan mereka yang enak didengar, biografi tokoh mereka yang aneh, tata cara mereka yang ajaib, feeling mereka yang keras yang menyeret pada kehancuran dan lain sebagainya…” (Tarikhul Islam 21/278).

[15] Artinya tidak ada perawi lain yang meriwayatkan hadits ini dari guru yang sama. Ini merupakan indikasi bahwa perawi tersebut lemah.

[16] Lihat: Catatan kaki muhaqqiq Sunan Ad Daruquthni 3/334 (hadits no 2695).

[17] Lihat: At Talkhies Al Habier hadits no 1073, oleh Ibnu Hajar.

[18] Lihat: Syu’abul Iman, hadits no 4152. Dalam hadits itu ada perawi yang tidak jelas siapa orangnya (mubham), namun sekedar disebutkan bahwa dia adalah salah seorang keluarga Al Khattab atau Umar.

[19] Hadits keempat dinyatakan maudhu’ oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’iefah no 47, dan Ibnu Thahir Al Maqdisi dalam Dzakhieratul Huffazh (4/5250). Intinya, para ulama sepakat akan kedha’ifannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Ar Raddu ‘alal Akhna-iy hal 28.

Sedangka hadits kelima dinyatakan maudhu’ oleh As Suyuthi, Ash Shaghani, Az Zarkasyi, Ibnul Jauzy, Al Albani dll (lihat Al Fawaidul Majmu’ah no 35 oleh Asy Syaukani dan Silsilah Adh Dha’iefah no 45).

[20]  Al Majruhien, 3/73. Dalam ilmu jarh wat ta’dil (kritikan dan pujian) yang kami pelajari selama di bangku kuliah, ungkapan ini merupakan isyarat bahwa yang bersangkutan tertuduh mencuri hadits, alias menisbatkan hadits-hadits mungkar ke perawi-perawi tsiqah agar terkesan sanadnya shahih.

[21]  Dalilnya ialah bahwa dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh:

إِنَّمَا يُسَافَرُ إِلىَ ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدُ الْكَعْبَةِ وَمَسْجِدِي وَمَسْجِدِ إِيْلِيَاءَ.

Safar hanyalah boleh dilakukan ke tiga mesjid: Masjidil Ka’bah (Mesjidil Haram), Masjidku (Nabawi) dan Masjid Iliya’ (Baitul Maqdis). (HR. Muslim dalam Shahihnya no 1397). Jadi, jelaslah bahwa ‘mengikat pelana unta’ sama dengan ‘safar’.

[22]  HR. Ahmad dalam Musnadnya  39/270 hadits no 23850. Hadits ini sanadnya shahih, Al Haitsami mengatakan dalam Majma’uz Zawa-id (4/3): “Rijaalu Ahmad tsiqaatun atsbaat” (para perawi hadits Ahmad tsiqah semua dan kuat hafalannya). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik secara panjang lebar dalam Muwaththa’nya no 241.

[23] Lihat Surat Al Qashash: 29.

[24] Lihat Surat Al Baqarah: 63, 93 dan An Nisa’: 154.

[25] Lihat Surat Maryam: 52, dan Thaha: 80.

[26] Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang surat Thaha ayat 80.

[27] Ini menurut riwayat Imam Malik yang lebih panjang dari yang kami nukil di atas. Dalam riwayat tersebut Abu Hurairah memulai haditsnya dengan kata-kata tersebut.

[28] Lihat: At Tamhid, 23/28.

[29] Lihat: Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa

[30] lihat: Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 28/3; Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz 4/381, 24/44; Fatawa Lajnah Da-imah 2/107, 26/93, dan lain-lain.

[31] HR. Ibnu Majah (no 2536) dan Ahmad (no 20043) dengan sanad hasan.

[32] HR. Abu Dawud (2647) dan Tirmidzi (1604) dengan sanad yang shahih.

[33] Lihat: An Nihayah fie Ghariebil Hadits 2/177.

Komentar
  1. Tommi berkata:

    Assalamu’alaikum ustadz -hafizhahullah-,

    Ana sangat mendukung apabila artikel antum ini antum terbitkan menjadi sebuah buku tersendiri karena ulasan antum mengena sekali dan terutama sekali agar saudara2 kaum muslimin tersadar akan bahayanya buku tersebut. Semoga bisa antum pertimbangkan ya ustadz, tentunya setelah antum menyelesaikan thesis antum.

    Semoga ustadz selalu diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam berdakwah. Amin.

  2. Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh…

    Memang semua artikel ini dari naskah buku yg sudah ana tulis lebih dari 3 tahun lalu, tapi belum ada penerbit yg berminat menerbitkan. Kalau antum bisa mencarikan penerbit yg mau nerbitkan, ahlan wa sahlan, wa jazakallaah khairan. Tapi tetap pakai nama Abu Hudzaifah Al Atsari.

  3. renungan berkata:

    materi menarik. tambahan ilmu untuk saya.
    terima kasih

  4. […] sanad ini terdapat perawi yang bernama Nuh bin Darraj, perawi ini oleh Ibnu Hajar dinyatakan matruk[4], bahkan ia dianggap pendusta oleh Imam Ibnu Ma’in [5]. Kemudian sanad hadits ini juga terputus, […]

  5. […] Berkaitan dengan ziarah kubur bagi wanita, Novel mengatakan: “Sebagaimana kaum pria, para wanita juga diizinkan untuk berziarah, selama tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh Agama. Bahkan mereka dianjurkan untuk menziarahi kubur para Nabi dan ulama untuk mendapatkan keberkahan mereka” [1]. […]

  6. […] Dari Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah e melaknat wanita-wanita yang sering menziarahi kuburan (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya. Hadits ini dinyatakan hasan shahih oleh Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani).[2] […]

  7. […] Kemudian Novel menyebutkan sebuah riwayat yang intinya bahwa Siti Fatimah puteri Rasulullah e senantiasa menziarahi makam Hamzah bin Abdul Muttalib setiap hari Jum’at dan menandai makamnya dengan batu besar.[3] […]

  8. Na2ngismail berkata:

    Assalamu’alikum … Tulisan antum mantap ustadz. Ana baca iklan buku tersebut di sebuah majalah. Muter2 cari buku bantahannya eh … nemu postingan antum. Semoga ilmu antum bermanfaat bagi kaum muslimin. Ditunggu kelanjutannya ustadz.

  9. farhanalfarisy berkata:

    assalamualaikum ustadz, sy dpt link blog ini dr sdr Abu Jufri..sy ingin tanya, saya berbeda pendapat tentang tauhid terbagi 3, apa saya musyrik? trmksh atas jwbnnya.

  10. Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh. Sekedar berbeda pendapat tentu tidak menjadikan Anda musyrik… tapi coba jelaskan pendapat Anda dlm masalah ini ! Saya khawatir jika anda bermaksud mengingkari pembagian tsb yg dalilnya terlalu banyak untuk dirinci satu-persatu… nah, inilah yg berbahaya, yg menjerumuskan banyak orang kedalam syirik tanpa mereka sadari. Saya sempat menyinggung dalil pembagian tauhid menjadi 3 dlm artikel: Cara mudah memahami asma’ dan sifat. Cobalah anda baca, dan berikan komentar anda… Terima kasih pula atas tanggapannya.

  11. TAUFIQ berkata:

    semoga ada penerbit yang bersedia menerbitkannya dalam waktu dekat ,karena bantahannya ilmiyyah,lugas dan mengena, tanpa basi basi,dan simpel bukankah asatidz lulusan madinah itu (seperti ustadz firanda,arifin badri dll , banyak menerbitkan buku buku yang dicetak oleh penerbit di Jakarta kalo nga salah pustaka ilmu, adzahabi dll,sudahkah dihubungi ?ana tunggu bentuk bukunya sehingga ana bisa membacanya secara konsentrasi di rumah

  12. Aamiin. Tidak ada salahnya kalau antum mengenal mereka dan punya waktu longgar untuk ikut menawarkan. Ana masih sibuk menyelesaikan thesis skrg.

  13. Hadian berkata:

    Assalamu’alaikum
    Afwan Ustadz, ana mohon tanggapan atau bantahannya thd status di FB yg ana temukan di suatu group, ini statusnya:

    ke 1

    Koden Mustafa (pengirim)

    Ibnu taymiyah dan imam madzab iktiraf sampainya hadiah pahala

    Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barang siapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa juz 24 hal306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah pahala orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama islam dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah dan ijma’ (konsensus ulama’). Barang siapa menentang hal tersebut maka ia termasuk ahli bid’ah”.

    Lebih lanjut pada juz 24 hal 366 Ibnu Taimiyah menafsirkan firman Allah “dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS an-Najm [53]: 39) ia menjelaskan, Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfaat dari orang lain, Namun Allah berfirman, seseorang

    hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan kepadanya.

    Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan doa di kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain”

    Dalam kitab Ar-Ruh hal 153-186 Ibnul Qayyim membenarkan sampainya pahala kepada orang yang telah meninggal. Bahkan tak tangung-tanggung Ibnul Qayyim menerangkan secara panjang lebar sebanyak 33 halaman tentang hal tersebut.
    4 jam yang lalu • Suka • •

    ke 2

    Koden Mustafa

    ibnu taimiyah dan imam 4 madzab dukung tasawuf.

    Dalam kumpulan fatwa jilid 10 hal 507 Syekh Ibnu Taimiyah berkata, “Para imam sufi dan para syekh yang dulu dikenal luas, seperti Imam Juneid bin Muhammad beserta pengikutnya, Syekh Abdul Qadir al-Jailani serta lainnya, adalah orang-orang yang paling teguh dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Syekh Abdul Qadir al-Jailani, kalam-kalamnya secara keseluruhan berisi anjuran untuk mengikuti ajaran syariat dan menjauhi larangan serta bersabar menerima takdir Allah.

    Dalam “Madarijus salikin” hal. 307 jilid 2 Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Agama secara menyeluruh adalah akhlak, barang siapa melebihi dirimu dalam akhlak, berarti ia melebihi dirimu dalam agama. Demikian pula tasawuf, Imam al Kattani berkata, “Tasawwuf adalah akhlak, barangsiapa melebihi dirimu dalam akhlak berarti ia melebihi dirimu dalam tasawwuf.”

    Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam kitab Fatawa wa Rosail hal. 31 masalah kelima. “Ketahuilah -mudah-mudahan Allah memberimu petunjuk – Sesungguhnya Allah SWT mengutus Nabi Muhammad dengan petunjuk berupa ilmu yang bermanfaat dan agama yang benar berupa amal shaleh. Orang yang dinisbatkan kepada agama Islam, sebagian dari mereka ada yang memfokuskan diri pada ilmu dan fiqih dan sebagian lainnya memfokuskan diri pada ibadah dan mengharap akhirat seperti orang-orang sufi. Maka sebenarnya Allah telah mengutus Nabi-Nya dengan agama yang meliputi dua kategori ini (Fiqh dan tasawwuf)”. Demikianlah penegasan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa ajaran tasawuf bersumber dari Nabi SAW.
    4 jam yang lalu • Suka •
    ====================================

    Jazakallohukhair.

  14. Hehe… ana sudah cari di kitab-kitabnya ibn Taimiyyah, ga’ ketemu tuh pernyataan beliau yg mendukung tasawwuf (spt yg difahami oleh si penulis). Lagi pula, Ibnu Taimiyyah membedakan antara tasawwuf generasi awal (semisal Junaid, Hasan al Basri, Sariy As Saqathi, dll -kalaupun mereka kita anggap ‘sufi’-) yg tak lain merupakan fenomena zuhud thd dunia (sama sekali tidak mau dgn dunia) dengan tasawwuf belakangan yg sudah tersusupi berbagai bid’ah dlm akidah dan ibadah, bahkan menjadi gerbang masuknya setiap firqah sesat ke tubuh umat.
    Demikian pula penilaian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama salafi hingga hari ini. Jadi, -kalaupun nukilan itu benar demikian- sama sekali tidak bisa difahami dengan pemahaman si ‘Koden Mustafa’, tapi harus difahami dari perkataan mereka lainnya yg saling menafsirkan bahwa tasawwuf yg dianggap ada di zaman salaf adalah sikap zuhud thd dunia dengan akidah dan manhaj yg sesuai dengan ahlussunnah wal jama’ah.

    Adapun ttg sampainya pahala dari orang hidup yg dihadiahkan kepada orang mati, maka masalah sesungguhnya ialah bagaimana caranya? Apakah dengan mengirim pahala shalat, puasa, dan ibadah apa pun secara mutlak? ataukah terbatas pada amalan-amalan yg memang ada nas-nya, seperti haji, umrah, sedekah, puasa, doa, istighfar, syafa’at dan semisalnya? Inilah yg menjadi permasalahan… Ibnu Taimiyyah sendiri menjelaskan bahwa para imam sepakat akan sampainya pahala ibadah maaliyyah (ibadah yg berkaitan dengan harta, spt sedekah dan membebaskan budak atas nama mayit), namun mereka berselisih pendapat ttg sampainya pahala dari ibadah badaniyyah spt shalat, puasa, baca qur’an dan semisalnya. Pun demikian beliau menyebutkan sejumlah hadits shahih yg menyatakan bahwa mayit mendapat manfaat dari puasa yg dilakukan oleh orang yg masih hidup bagi si mayit. Ibnu Taimiyyah lantas mengatakan bahwa hadits-hadits yg shahih tadi menyelisihi pendapat para ulama yg belum mendengar hadits tsb.
    Berikut ini ana nukilkan tafsir ibnu Katsir ttg ayat (وأن ليس للإنسان إلا ما سعى) “Manusia tidak akan mendapatkan selain apa yg diusahakannya” (An Najm: 39):
    ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم؛ ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه، ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء، ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة، رضي الله عنهم، ولو كان خيرا لسبقونا إليه، وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء، فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما.
    Artinya, “Dari ayat ini, Imam Syafi’i rahimahullah -dan yg mengikutinya- menyimpulkan bahwa pahala bacaan Al Qur’an yg dihadiahkan kepada mayit tidak akan sampai, karena hal tsb bukanlah hasil usaha si mayit. Sebab itu, Nabi tidak menganjurkan umatnya atau menghasung mereka untuk melakukan hal tsb baik secara tegas maupun tersirat. Hal ini (yakni menghadiahkan bacaan al qur’an) juga tidak pernah dinukil dari seorang sahabat pun. Andai ia memang suatu kebaikan, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya dari pada kita. Masalah taqarrub sifatnya terbatas pada apa yg ada nas-nya (dalilnya) saja, dan tidak boleh diotak-atik pakai qiyas dan pendapat manusia. Adapun masalah doa dan sedekah, maka keduanya akan sampai kepada mayit berdasarkan ijma’ ulama, dan berdasarkan nas syari’at pula (Tafsir Ibn Katsir, 7/465).

    Jadi, ini adalah masalah ijtihadiyyah… yg mau ikuti pendapat imam syafi’i ya monggo… demikian pula yg ingin mengikuti pendapat ibn Taimiyyah. Ana pribadi lebih cenderung kepada pendapat Imam Syafi’i karena lebih selamat.

  15. Hadian berkata:

    Syukron atas segala penjelasannya.
    Semoga ana juga bisa mengikuti pemahaman yg lebih selamat. Aamiin
    Barokallohufik wajazakallohukhair

  16. yono berkata:

    Bismillah,assalamu’alaikum warahmatullah,pa kbr tadz?smoga antum slalu dlm keadaan sehat slalu dlm limpahan rahmat dan berkah Allah ta’ala.
    Alhamdulillah ana bs mampir ke blog antum,dan bs bc tulisan2 antum, sngt bermanfaat tadz,dmn saat ini bgitu bnyk fitnah dan syubhat yg menjangkiti umat Islam,tentu lbh bnyk orng2 berlimu seperti antum utk membantah dakwah mereka.
    Smoga Allah ta’ala slalu kasih antum kemudahn dlm berdakwah menegakan tauhid di muka bumi ini,barokallahu fiika.
    Owh ya tadz,klo boleh minta kontak antum,yg b langsung ana hubngi,جَزَاك اللهُ خَيْرًا..

  17. Ahmad berkata:

    Baca ini penting bagi pemilik situs ini: tentang sejarah sekte berdarah salafi wahabi. JANGAN ANDA marasa berhutang budi dengan wahabi, dengan menerima uang dari Saudi.

    http://media.kompasiana.com/buku/2011/03/09/sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi/

  18. buku itu yg ‘ngarang’ saja masih misterius (menurut pengakuan yg me-review sendiri)… dan sangat-sangat-sangat sarat dengan kerancuan dan pemutarbalikkan fakta. Lagi pula itu bukan tuduhan dan fitnah baru yg disematkan kepada mereka yg menyeru kepada tauhid dan manhaj As Salafus Shalih. Anda jangan jadi ‘pahlawan kesiangan’. Mau tau kadar ilmiah buku tsb dan berapa banyak kekeliruannya? Baca link berikut:
    http://www.voa-islam.com/counter/liberalism/2011/07/11/15551/membongkar-kebohongan-penyesatan-buku-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi/
    Yaa Ayyuhallaadziiena aaamanu in jaa-akum faasiqun binaba-in fatabayyanuu (Wahai orang-orang yg beriman, kalau ada orang fasik yg datang membawa suatu berita kepadamu, maka klarifikasilah…) Ini bila orang tersebut diketahui hakikat dan jatidirinya, lantas bagaimana jika orang itu masih misterius (alias mungkin saja orang kafir, zindiq, pembohong, yahudi, syi’ah, atau bahkan iblis berbaju manusia). Hanya orang pandir yg mau dibodohi oleh buku semacam itu.
    Saya sangat berhutang budi dengan wahhabi, karena melalui dakwah mereka-lah saya merasakan ketenangan hidup yg luar biasa di Saudi Arabia (di seluruh kota dan desanya, terutama di Madinah), rezeki pun sangat lancar, ibadah bisa khusyuk, keadaan aman, tindak kriminal sangat rendah dibanding Indonesia, dan uang terasa demikian berkah… dan yg lebih penting dari itu semua ialah: Saya mengetahui kebenaran dan ajaran islam yg murni, yg bebas dari bid’ah dan khurafat.
    Alhamdulillah, meskipun saudi banyak dimusuhi, tapi tetap saja orang-orang seperti Anda atau bahkan penulis buku tersebut akan mendapat visa secara ‘CUMA-CUMA’ untuk menunaikan umrah, dan bila anda sakit setibanya di Saudi, maka biaya pengobatan anda (walaupun di rumah sakit termahal sekalipun) akan ditanggung oleh pemerintah Saudi…(Sesuatu yg tidak mungkin dilakukan oleh Pemerintah indonesia thdp wisatawan asing manapun), ada ratusan mahasiswa Indonesia sekarang yg belajar secara cuma-cuma di berbagai univ. Saudi Arabia, baik yg jurusan agama maupun umum. Mereka semua mendapat uang saku yg minimal sekitar 2 jt rupiah perbulan, belum lagi jaminan kesehatan, bonus-bonus dari univ. bagi yg berprestasi, dan bantuan dari para dermawan (sesuatu yg hanya menjadi impian di Indonesia tercinta…). Kalau sudah spt itu tetap tidak mau berterima kasih dan tidak merasa hutang budi, ya tidak akan bersyukur kepada Allah. Man lam yasykurinnaas lam yasykurillaah, kata Rasulullah tercinta. Cobalah anda menilai secara lebih obyektif dan jangan ta’ashub… apalagi jika hanya mengambil informasi sepihak saja (dari musuh), maka bisa dipastikan akan banyak kerancuan… wabillaahit taufiik.

  19. Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh. Jazakumullah atas doa dan supportnya, dan semoga antum demikian pula.
    BTW, Ana masih berada di Madinah, jadi via e-mail aja: basweidan@gmail.com

  20. Hendy berkata:

    Cuma mau komentar dikit, saya punya teman yg baru sekitar 3 bulan kembali dari Saudi, setelah setahun tinggal disana, ternyata hidupnya gak seenak yang anda ceritakan disini, makanya dia memilih untuk tidak kembali lagi kesana kecuali untuk keperluan ibadah. Saya pribadi juga waktu sedang di Jeddah sempat ngobrol2 dengan orang Saudi asli dibantu oleh teman saya yg menterjemahkan, ternyata isi omongannya juga gak jauh dari urusan syahwat dan omongan hedonis lainnya.

    Kalau bicara fasilitas yang anda ceritakan di atas, rasanya dibandingkan Pemerintah Saudi, Pemerintah Canada memberikan fasiltas yang jauh lebih baik bagi warga negara asing yang ada negaranya.

    Inti komentar saya, rasanya setiap pemerintah di seluruh dunia punya kelebihan dan kekurangannya sendiri, anda gak perlu jelek2in negeri anda dan mengang2kat negara lain cuma karena anda menerima sedikit madu.

    Saya pernah mendengar kakak ipar saya menjawab pertanyaan temannya yang seorang mualaf tetapi masih ragu2 dikarenakan informasi2 negatif yang dia dapat seputar Islam. Di akhir pembicaraannya kakak saya bicara “Menjadi seorang Muslim bukanlah menjadi seorang Arab, sebab identitas seorang Muslim itu dari Iman dan Ahlaknya, bukan dari lebarnya jubah dan panjang jenggotnya!”

  21. Iya, silakan saja Anda berpendapat demikian. Penilaian kita berbeda karena perbedaan sudut pandang. Barangkali nasib teman Anda memang kurang baik sehingga penilaiannya kurang baik, sedangkan nasib saya lebih baik darinya … Saya tidak menilai sisi material semata, tapi juga sisi kehidupan beragama (dan ini yg paling penting). Adapun sikap dan kondisi warga saudi secara orang-perorang adalah bukan standar saya, karena ini sangat subyektif, tergantung dengan siapa anda bertemu/bergaul, dan berapa luas pergaulan anda, serta di mana anda tinggal di saudi (kalau memang pernah). Yg tinggal di Madinah tentu memiliki perasaan/penilaian lain dgn yg tinggal di Jeddah, Riyadh, atau kota besar lainnya. Saudi adalah negara yg multietnik, jumlah warga asing yg mukim di sana mencapai sepertiga dari total penduduk. Saya tidak mengatakan semua orang saudi itu baik, tapi ada yg sangat baik, baik, biasa, jelek, sangat jelek, bahkan ada pula yg kafir dan zindiq. Bukankah di zaman Nabi sendiri ada ratusan orang munafik yg tinggal di Madinah bersama beliau? Kalau seseorang hanya melihat kepada yg munafik saja dan menutup mata dari puluhan ribu sahabat mulia yg hidup bersama beliau, kira-kira bagaimana penilaian yg akan diberikan kepada Negara Madinah di zaman Rasulullah tsb?
    Bukan hanya Canada yg memberikan fasilitas lebih baik dari Saudi bagi warga asing,… tapi cukuplah kekafiran mereka menjatuhkan nilai mereka di mata Allah, sehingga di mata orang beriman yg faham ttg wala’ wal baro’ pun mereka juga jatuh, bahkan lebih hina dari binatang.
    Kalau ada orang indo yg tidak betah tinggal di saudi, maka banyak juga orang indo yg sangat betah tinggal di sana, bahkan telah puluhan tahun dan beranak pinak di sana sehingga sebagiannya menjadi warga saudi. Bahkan ada yg bertekad untuk mati di Madinah walaupun hanya bisa makan roti… Bahkan banyak yg tetap tinggal di sana setelah masa kontrak mereka habis… coba Anda renungkan, kira-kira apa alasan mereka demikian?
    Ttg identitas seorang muslim, justru menurut saya yg pertama kali membedakan seorang muslim dengan orang lainnya ialah penampilan, sebab penampilan itu dhahir, sedangkan iman itu batin. Kalau ada dua orang yg sama-sama berwajah indo, tidak berjenggot, tidak berjubah, dan tidak mengenakan atribut islami sedikitpun, lalu anda saya tanya: Manakah di antara mereka yg muslim? Anda pasti tidak bisa memastikan hanya dengan penampilan bukan? Nah, jenggot dan jubah meskipun bukan tolok ukur utama, tetapi memiliki peran besar dalam menampakkan jatidiri seorang muslim dan membedakannya dari orang kafir. Kalau ia juga memiliki iman dan akhlak yg baik, maka akan semakin baik. Tapi bila ia membenci/selalu mencukur jenggotnya, dan tidak suka kpd atribut islami, maka bisa dipastikan bahwa imannya ‘tidak baik’.
    Maaf jika kepanjangan, namun komentar Anda mengandung hal-hal yg perlu dikoreksi, jadi saya koreksi sekalian.

  22. Assalamualaikum ustad,
    ALhamdulillah saya selesai kopi paste ke blog saya http://widiy.blogspot.com/2011/09/mana-dalilnya-buku-ini-dalilnya-jawaban.html 🙂 semoga ada manfaatnya bagi saya, cukup panjang say akumpulkan dari bantahan mukadimah sampai 5 supaya enak saya bacanya , mohon berkenan 🙂 semoga lekas selesai urusanya dinegri sebrang kembalike indonesia (kalau ndak salah solo yach tetanggan saya boyolali ustad) lekas menabar ilmu haq dinegri kita indonesia

  23. Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.

    Na’am, silakan sebar luaskan, hak cipta TIDAK dilindungi undang-undang selama keotentikan tetap terjaga. Semoga bermanfaat. Amin atas doanya…

  24. Umar Abdil Aziz berkata:

    Memang hebat banget antum mengalahkan ulama-ulama sbb :

    1) Al Imam Syafi’i : Bid’ah (muhdasat) ada dua macam : pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al Qur’an atau Sunnah atau ijma’, dan itu disebut bd’ah dlolalah ( tersesat ). Kedua sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al Qur’an, Sunnah dan ijma’ dan itu disebut bid’ah madzmumah ( tidak tercela ). ( Al Baihaqi, Manaqib al Syafi;i, 1/469 ).
    Imam Qurtubi juz. 2 halaman 86-87 mengatakan: “ Imam Syafi’i berkata, bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ “.Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi rahimahullah berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi: ‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya’ (Shahih Muslim hadits no.1017–red) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubi juz 2 hal. 87)

    2) Al – Imam Ibn Abdilbarr :Adapun perkataan Umar, sebaik-baiknya bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid;ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka bid’ah itu tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas alirannya. Sedangkan bidah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baiknya bid’ah ( Al-Istidzkar, 5/152 )

    3) Al-Imam Nawawi : Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah ( baik ) dan bid’ah qobihah (buruk) ( Tahdib al-Asma wa al-Lughat 3/22 )

    4) Al-Hafidz Ibn al-Atsir al-Jazari : Bid’ah ada dua macam : bidah huda ( sesuai petunjuk agama ) dan bid’ah dhalal (sesat). Maka bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah tergolong bid’ah tercela dan ditolak. Bid’ah yang berada dibawah naungan kumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan RasulNya maka tergolong bid’ah terpuji. (al-Nihayah fi Gharib al-Hadist wa al-Atsar )

    5) Al-Hafidz Ibn al-‘Arabi al-Maliki : Umar berkata : “ini sebaik-baiknya bid’ah”. Bid’ah yang dicela hanyalh bid’ah yang menyalahi Sunnah. Perkara baru (muhdast) yang dicela adalah mengajak pada kesesatan. (Arodhat al-Ahwadzi Syarh Jami’ alTirmidzi )

    6)Al-Imam Izzudin bin Abdissalam : Bid’ah adalah mengerjakan ssuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi pada jaman Rasulullah), bidah terbagi lima yakni bidah wajibah, bid;ah mandubah (sunnah), bidah mubahah, bid’ah mahkurkah,bidah muharromah. Jalan untuk membandingkan hal tersebut dengan kaedah-kaedah syariat. (Qawaid al Ahkam fi Mashalih al-Anam)

    7) Ibn Hajar AL Asqolani : Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”. (Fathul Baari 4/318 )

    8) Al Imam al-‘Aini : Bid’ah mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah. Kemudian bid’ah itu ada dua macam. Apabila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’, maka diebut bid’ah hasanah. Apabila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka disebut bid’ah tercela. (Umdat al_Qari, 11/26).

    9) Al-Imam al-Shan’ani : Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah disini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui al-Qur’an dan Sunnah. Ulama telah membagi bid’ah menjadi lima bagian : 1. bid’ah wajibah seperti memelihara ilmu-ilmu agama dan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan mengakkan dalil-dalil. 2. bid’ah mandubah seperti mebangun madrasah-madrasah 3. bid’ah mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan memakai baju yang indah. 4. Bid;ah muharramah dan 5. bid’ah makruhah yang sudah jelas contohnya. Jadi hadist “Semua bid’ah adalah sesat”, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.” ( Subul al-Salam, 2/48 ).

    10) Al-Imam al-Syaukani : Dalam kitab Nail al-Authar 3/25, beliau mengutip pernyataan Al- Hafihz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari tentang pembagian bid’ah menjadi dua tersebut tanpa memberinya komentar.

    Dan kesimpulannya anda memang mujtahid sndiri yang dapat mentarji pendapat ulama-ulama mujtahid… Top Markotop.

  25. Mereka yg membagi bid’ah menjadi lima tadi, tidak lepas dari dua kemungkinan: Pertama, menyamakan antara bid’ah dengan mashalih mursalah, dan kedua, Mendefinisikan bid’ah secara bahasa… Ana menolak pembagian tersebut bukan karena apa-apa, tapi karena meyakini bahwa ulama tetap bisa keliru, siapa pun orangnya, sebab yg ma’shum hanya Rasulullah.
    Pembagian Imam Syafi’i tsb sama sekali tidak sesuai dgn yg difahami oleh mereka yg menetapkan bid’ah hasanah, sebab beliau mentaqyid ‘bid’ah hasanah’ tsb dengan: “Tidak menyalahi Al Qur’an, Sunnah, dan Ijma'”, nah, tolong sebutkan satu bid’ah saja yg memenuhi kriteria ini… Kalau ada bid’ah yg bisa memenuhi kriteria ini, ana hapus artikel ana sekarang juga dan ana ruju’ ke pendapat antum.
    Mohon sebelum berkomentar, bacalah artikel dengan teliti, terutama masalah bid’ah.. kalau antum menukil pendapat imam syafi’i yg mengesankan adanya bid’ah hasanah, maka beliau memiliki pendapat lain yg menyatakan bahwa bila perkataan beliau menyelisihi hadits shahih, maka buanglah perkataan beliau dan peganglah hadits shahih tsb… Jadi, ana mengamalkan petuah Imam Syafi’i tadi, justru antum yg menyelisihinya dlm hal ini kalau antum tetap meyakini adanya bid’ah hasanah setelah tahu hadits Nabi (Wa kullu bid’atin dholaalah).
    Nih, ana nukilkan lagi perkataan2 imam Syafi’i:
    1. مَا مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَتَذْهَبُ عَلَيهِ سُنَّةٌ لِرَسُولِ اللهِ  وَتَعْزُبُ عَنْهُ فَمَهْمَا قُلْتُ مِنْ قَوْلٍ أَوْ أَصَّلْتُ مِنْ أَصْلٍ, فِيْهِ عَنْ رَسُولِ اللهِ  لِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَالْقَوْلُ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ  وَهُوَ قَوْلِي ( تاريخ دمشق لابن عساكر 15 / 389 )
    Tak ada seorang pun melainkan pasti ada sebagian sunnah Rasulullah yang luput dari pengetahuannya. Maka perkataan apa pun yang pernah kukatakan, atau kaidah apa pun yang kuletakkan, sedang di sana ada hadits dari Rasulullah  yang bertentangan dengan pendapatku, maka pendapat yang benar ialah apa yang dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah pendapatku (lihat: Tarikh Dimasyq, 15/389 oleh Ibnu Asakir)
    2. أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ  لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
    (الفلاني ص 68)
    Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah , maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.(lihat Muqaddimah Shifatu Shalatin Nabii, oleh Al Albani).
    3. إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ. ( النووي في المجموع 1 / 63 )
    Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah , maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang. (lihat Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab 1/63)
    4. إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ ( سير أعلام النبلاء 3/3284-3285)
    Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok. (Siyar A’laamin Nubala’ 3/3284-3285).
    5. كُلُّ مَسْأَلَةٍِ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ  عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي. ( أبو نعيم في الحلية 9 / 107 )
    Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku (Hilyatul Auliya’ 9/107)
    6. إِذَا رَأَيْتُمُوْنِي أَقُوْلُ قَوْلاً وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ  خِلاَفُهُ فَاعْلَمُوا أَنَّ عَقْلِي قَدْ ذَهَبَ. (تاريخ دمشق لابن عساكر بسند صحيح 15 / 10 / 1 )
    Jika kalian mendapatiku mengatakan suatu perkataan, padahal di sana ada hadits shahih yang berseberangan dengan pendapatku, maka ketahuilah bahwa akalku telah hilang!! (Tarikh Dimasyq, oleh Ibnu ‘Asakir)
    7. كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ  خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي. (تاريخ دمشق لابن عساكر بسند صحيح 15 / 9 / 2 )
    Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi , maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.
    8. كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ  فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ. ( تاريخ دمشق, 51/389)
    Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi , maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku (Tarikh Dimasyq, 51/389).
    9. قَالَ الرَّبِيْعُ: سَأَلَ رَجُلٌ الشَّافِعِيَّ عَنْ حَدِيْثِ النَّبِيِّ  فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: فَمَا تَقُوْلُ؟ فَارْتَعَدَ وَانْتَفَضَ وَقَالَ: أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ  وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ. (حلية الأولياء 9/107)
    Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita: Ada seseorang yang bertanya kepada Asy Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya: “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya: “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah  kemudian aku berpendapat lain…!?” (lihat: Hilyatul Auliya’ 9/107) ).

    Adapun Imam Asy Syaukani, beliau justru menolak pembagian tsb mentah-mentah… dan itu semua beliau sebutkan dlm Nailul Authar sbb:
    وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْ قَوَاعِدِ الدِّينِ ؛ لِأَنَّهُ يَنْدَرِجُ تَحْتَهُ مِنْ الْأَحْكَامِ مَا لَا يَأْتِي عَلَيْهِ الْحَصْرُ . وَمَا أَصْرَحَهُ وَأَدَلَّهُ عَلَى إبْطَالِ مَا فَعَلَهُ الْفُقَهَاءُ مِنْ تَقْسِيمِ الْبِدَعِ إلَى أَقْسَامٍ وَتَخْصِيصِ الرَّدِّ بِبَعْضِهَا بِلَا مُخَصِّصٍ مِنْ عَقْلٍ وَلَا نَقْلٍ فَعَلَيْك إذَا سَمِعْت مَنْ يَقُولُ هَذِهِ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ بِالْقِيَامِ فِي مَقَامِ الْمَنْعِ مُسْنِدًا لَهُ بِهَذِهِ الْكُلِّيَّةِ وَمَا يُشَابِهُهَا مِنْ نَحْوِ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ} طَالِبًا لِدَلِيلِ تَخْصِيصِ تِلْكَ الْبِدْعَةِ الَّتِي وَقَعَ النِّزَاعُ فِي شَأْنِهَا بَعْدَ الِاتِّفَاقِ عَلَى أَنَّهَا بِدْعَةٌ ، فَإِنْ جَاءَك بِهِ قَبِلْته ، وَإِنْ كَاعَ كُنْت قَدْ أَلْقَمْته حَجَرًا وَاسْتَرَحْت مِنْ الْمُجَادَلَةِ . (نيل الأوطار, كتاب الصلاة, باب: الصلاة في ثوب الحرير والمغصوب).
    “Hadits ini merupakan salah satu pondasi agama -yakni hadits kullu bid’atin dholalah-, karena tak terhingga banyaknya hukum yang masuk ke dalamnya. Alangkah jelasnya dalil ini sebagai pembatal bagi apa yang dilakukan sebagian fuqaha’ ketika membagi bid’ah menjadi macam-macam. Atau ketika mereka mengkhususkan jenis bid’ah tertentu yang tertolak, tanpa bersandar pada dalil baik secara logika maupun riwayat. Karenanya, ketika mendengar ada orang mengatakan: “Ini bid’ah hasanah”, wajib bagi anda untuk menolaknya; yaitu dengan bersandar pada keumuman hadits ini dan hadits-hadits senada seperti: “Kullu bid’atin dholalah”. Anda harus menanyakan dalil mana yang mengkhususkan bid’ah-bid’ah lain yang masih diperdebatkan, setelah disepakati bahwa hal itu merupakan bid’ah? Kalau ia bisa mendatangkan dalilnya, kita akan terima. Namun jika tak mampu, maka anda telah membungkamnya seribu bahasa, dan tak perlu melanjutkan perdebatan” (Nailul Authar, 1/66 cet. Daarul Fikr).
    Ya jelaslah beliau tidak memberi komentar karena sebelumnya telah panjang lebar berkomentar… untuk apa dikomentari lagi? (Antum menukilnya dari Nailul Authar jilid 3 hal 25, sedangkan ana menukilnya dari jilid 1 hal 66, jadi beliau tidak mengomentari karena sudah pernah dikomentari).
    Jadi, yg membantah para fuqaha dlm hal ini bukanlah kaum wahhabi, tapi banyak ulama, di antaranya adalah Asy Syaukani, Al Mubarakfuri, Shiddiq Hasan Khan, dan lain-lain.

  26. noor ihsanudin, S.Pd berkata:

    Assalamu’alaikum ustadz semoga selalu istiqomah dalam menegakkan dakwah tauhid ini dan ijinkan kami mengcopy hanya untuk dakwah bukan komersial. Syukron.

  27. Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh… tafadhdhal akhi.

  28. M Abduh T berkata:

    Assalamu’alaikum ustadz,
    Senang sekali melihat blog antum. Sy sarankan tulisan spt ini bisa diterbitkan di web muslim.or.id. Kami siap membantu dan silakan kirim ke email kami rumaysho@gmail.com.

    Semoga Allah selalu menjaga antum sekeluarga.

    M. Abduh Tuasikal, Riyadh

  29. Assalamu`alaikum
    Alhamdulillah dakwah ahlussunah wal jamaah dah b`kembang dengan baik

  30. Rusdi abumega berkata:

    Assalamualaikum warohmatullohi wabarokaatuh Ust semoga ALLOH slalu menjaga antum dan keluarga antum dan mejadikan kita tetap istiqomah di atas manhaj salaf

  31. […] sanad ini terdapat perawi yang bernama Nuh bin Darraj, perawi ini oleh Ibnu Hajar dinyatakan matruk[4], bahkan ia dianggap pendusta oleh Imam Ibnu Ma’in [5]. Kemudian sanad hadits ini juga terputus, […]

  32. khairul berkata:

    afwan ustadz ana mohon izin mengcopy artikelnya,untuk disebarkan pd teman ana.

  33. Ibnu Saleh berkata:

    Tadz, maaf ana rada keluar dari topik. Namun akhir2 ini di FaceBook ramai pembicaraan tentang masalah nge-share link [artikel] dari website2 yang dianggap sebagai website mukhaalif oleh sebagian ikhwan salafi salah satu contohnya adalah website Voa-Islam yang antum cantumkan linknya diatas.

    Alasan sebagian ikhwan melarang nge-share link dari website tsb adalah sebagai pengamalan kaidah Saddu Adz-Dzari’ah sebab menurut mereka kalo kita ngasih link berupa artikel yang bermanfaat [yg bebas dari syubhat sekalipun] dari website semisal voa-islam di FaceBook maka dikhawatirkan orang2 lain semisal orang2 awam yang mengungjungi website tersebut bisa terkena syubhat dari voa-islam berupa sikap mereka yang mengkritik penguasa secara terang2an, juga masalah demonstrasi, mendukung ust. Abu Bakar Ba’asyir, dll yang ujung2nya sikap seperti ini dikaitkan dengan manhaj khawarij oleh sebagian ikhwan salafi.

    Apa pendapat antum terkait masalah ini?

    Inti pertanyaan ana, bolehkah ana dan kawan2 nge-share artikel [link] dari voa-islam eramuslim, dll [yg dianggap sebagian ikhwan salafi sebagai website yang berbau khawarij] selama artikel tersebut bermanfaat [seperti berita2 yang berhubungan dengan kaum muslimin di seluruh dunia, bantahan terhadap pemikiran2 menyimpang bahkan voa-islam secara terang2an membela ‘wahabi’ ketika ‘wahabi’ dijelek2an oleh kalangan Nahdhiyyin, dll dari artikel2 bermanfaat di voa-silam] dan tidak bertentangan dengan manhaj Ahlussunnah?

    Dan yang lebih penting lagi tepatkah pengamalan kaidah: “Saddu Adz-Dzari’ah” dan “Menjauhi madharat lebih didahulukan daripada mengambil maslahat” dalam hal ini?

    Ana mohon jawaban antum. Terima kasih…

  34. Oh, iya… tolong antum tunjukkan di mana ana cantumkan link tsb? Mungkin saja ana lupa atau tidak sengaja atau semata-mata khusnuzhan kpd mereka.
    Adapun ttg website mukhaalif, maka tentunya kadar mukhalafah itu tidak sama antara satu kalangan dengan yg lainnya. Nah, di sini kita dituntut untuk obyektif dan inshaf dalam menilai: apakah mukhalafah mereka tsb telah mengeluarkan mereka dari manhaj ahlussunnah ataukah belum? kalau masih dlm koridor ahlussunnah, maka menurut ana pribadi boleh aja kita cantumkan link-link untuk tulisan mereka yg bermanfaat. Adapun kemungkinan adanya pembaca yg terkena syubhat karena membuka link tersebut, menurut ana tidak cukup kuat sebagai dalil dlm hal ini, sebab selama manfaat yg diberikan lebih banyak, maka syubhat yg ada bisa disanggah.
    Tentang saddu adz Dzari’ah, perlu kita ketahui pula bahwa di sana ada kaidah lain yg terkait dengan hal ini, yang berbunyi:
    من نهي عنه سدا للذريعة، أبيح للحاجة
    sesuatu yg dilarang dalam rangka saddu adz dzari’ah (mencegah terjadinya yg haram), maka menjadi boleh ketika diperlukan. Demikian pula kaidah menjauhi madharat lebih didahulukan daripada mengambil manfaat, ini juga -menurut ana- tidak tepat untuk diterapkan dalam kasus ini, sebab yg dianggap madharat di sini masih bersifat zhanni (sekedar dugaan, alias belum benar-benar terbukti); sedangkan manfaatnya jelas bisa dirasakan.
    Lagi pula, istilah mukhaalif itu ‘luas sekali’ pengertiannya… memangnya adakah dua orang salafi di dunia ini yg tidak beda pendapat sama sekali? pasti satu sama lain punya perbedaan visi dan menganggap sahabatnya ‘mukhaalif’ dlm beberapa masalah, namun itu bukanlah kendala dan tidak boleh menjadi kendala untuk saling istifadah dan ta’awun ‘alal birri wat taqwa.
    Bahkan ketika seseorang berhusnuzhan terhadap sebagian kalangan yg dianggap mubtadi’ah, dan kita tahu bahwa yg berhusnuzhan tadi termasuk ustadz salafi; maka kita tidak boleh serta-merta mencap dia sebagai mubtadi’. Sebab para salaf sendiri terkadang berbeda penilaian terhadap seseorang. Contohnya Imam Sufyan Ats Tsauri, Syu’bah bin Hajjaj, dan Waki’ ibnul Jarrah yg menganggap Jabir bin Yazid Al Ju’fi sebagai perawi yg tsiqah dan jujur, dan bahkan mereka memujinya… padahal si jabir ini dinyatakan oleh mayoritas ahli hadits lainnya sebagai seorang Rafidhi yg dha’if. Pun demikian, karena penilaian ketiga imam tadi berangkat dari hasil ijtihad, maka tidak seorang pun yg lantas mencap ketiganya sebagai pendukung mubtadi’ah… sama sekali tidak. Nah, mestinya kita juga meneladani mereka dalam hal ini, bukankah mereka juga salaf kita? Kalau memang iya, maka marilah kita ikuti teladan mereka dalam menyikapi para ‘mukhaalifiin’ tsb.
    Silakan baca statemen para ulama ttg Jabir Al Ju’fi dan jatidirinya dlm kitab Tahdzibut Tahdzibnya ibnu Hajar.